WELCOME IN SONHAJI'S SPOT

04/02/09

son's blog: PEMERINTAHAN GUSDUR DAN TRANSISI DEMOKRASI DI INDONESIA


son's blog: PEMERINTAHAN GUSDUR DAN TRANSISI DEMOKRASI DI INDONESIA
------------------------------------------------
Sangat luar biasa perhelatan politik di Indonesia, ketika dihadapkan pada suksesi kepemimpinan. Sejak berdirinya republik tahun 1945 sampai saat ini, terhitung lamanya kemerdekaan sudah mencapai 57 tahun, bila dirata-ratakan priodisasi pemerintahan selam lima tahun, maka menurut logika sehat akan terjadi suksesi kepemimpinan dengan melahirkan minimalnya 11 pemimpin nasional alias presiden. Namun pada tataran relitas sungguh sangat ironis, selama kurun waktu 54 tahun bangsa yang besar ini hanya dipimpin oleh 2 orang presiden selengkapnya...

son's blog: Harian Media Indonesia

son's blog: Harian Media Indonesia
-------------------------------
KNPI VERSUS PPI

Di harian ini pada hari sabtu tanggal 28 Juli 2007 di rubric FORUM tentang Opini Pembaca dimuat tulisan yang bertema PPI dan Paranoia Politik oleh saudara Akhmadsyah. Dia beranggapan bahwa kehadiran Partai Pemuda Indonesia (PPI) menjadi paranoia (ketakutan yang berlabihan) politik bagi Organisasi Kemasyarakatan Pemuda (OKP) dan sebagian partai politik yang ada, karena PPI akan mengurangi pemilih pemuda bagi partai-partai yang ada secara signifikan. Argumentasi dia didasarkan atas ketidakterwakilannya pemuda dalam memperjuangkan hak-haknya di ranah DPR dan DPD RI selengkapnya...

son's blog: REDIFINISI MAKNA PEMBANGUNAN DI BANTEN


Pembangunan merupakan sebuah kata yang sering diungkapkan, didiskusikan, bahkan menjadi sebuah diskursus dalam pengembangan sebuah wacana untuk kemajuan sebuah locality tertentu. Akhir-akhir ini istiah pembangunan mencuat kembali ke permukaan seiring dengan telah hadirnya era otonomi daerah. Otonomi daerah sering dipahami sebagai kebebasan daerah untuk dapat mengekspresikan makna pembangunan sesuai dengan keinginan daerah, terlebih fenomena ini menjadi sebuah “menara gading” bagi daerah-daerah yang baru terbentuk.selengkapnya...

REDIFINISI MAKNA PEMBANGUNAN DI BANTEN

Kepada Yang Terhormat,

Pemimpin Redaksi

Harian Banten

di

Banten

Berikut saya kirimkan sebuah tulisan saya dengan tema “Redifinisi Makna Pembangunan di Banten” untuk Rubrik Opini di Harian Banten

Demikian, atas perhatiannya saya ucapkan terima kasih.

Jakarta, 10 Juni 2002

Hormat saya,

Son Haji Ujaji

Catatan :

Biodata Singkat

Nama : Son Haji Ujaji

Alamat : Jalan Semanggi II No.20, RT.04/03, Cempaka Putih – Ciputat

Pendidikan : saat ini masih menempuh S2 di Universitas Muhammadiyah Jakarta, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik

Organisasi : Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Generasi Muda Mathla’ul Anwar (GEMA-MA)

REDIFINISI MAKNA PEMBANGUNAN DI BANTEN

Oleh : Son Haji Ujaji§

Pembangunan merupakan sebuah kata yang sering diungkapkan, didiskusikan, bahkan menjadi sebuah diskursus dalam pengembangan sebuah wacana untuk kemajuan sebuah locality tertentu. Akhir-akhir ini istiah pembangunan mencuat kembali ke permukaan seiring dengan telah hadirnya era otonomi daerah. Otonomi daerah sering dipahami sebagai kebebasan daerah untuk dapat mengekspresikan makna pembangunan sesuai dengan keinginan daerah, terlebih fenomena ini menjadi sebuah “menara gading” bagi daerah-daerah yang baru terbentuk.

Antusiasme pemerintah daerah dalam mengimplementasikan semangat otonomi –yang dalam system pemerintahan Indonesia bukan merupakan barang yang baru— harus dilandasi oleh pemikiran rasional dan fakta-fakta actual dalam system kehidupan nasional. Munculnya otonomi bagi daerah untuk mengelola Sumber Daya Manusia (SDM) dan Sumber Daya Alam (SDA) yang dimiliki daerah dengan lahirnya UU No. 22 tahun 1999 serta dibarengi dengan Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah, harus dipahami sebagai buah dari reformasi yang pada awalnya didorong oleh beberapa elemen mahasiswa dengan moral force movement-nya. Oleh karennya pelaksanaan otonomi daerah harus selalu digandengankan dengan semangat reformasi yang memiliki tujuan yang jelas, yaitu memperbaiki system pemerintahan (good governance) dengan prinsip transparansi, akuntabiliti, dan responsibiliti, dengan sebuah gerakan anti Korupsi, Kolusi dan Nopotisme (KKN).

Lalu bagaimana dengan Pemerintahan Propinsi Banten, apakah makna pembangunan dalam era otonomi daerah telah dijalankan sesuai dengan semangat reformasi yang menjadi background kehadirannya? Ataukah terdapat deviasi pemaknaan pembangunan, sehingga perjalanan Pemerintahan Propinsi Banten tidak dapat mengakomodasi kebutuhan dasar (basic needs) masyarakat Banten, terlebih untuk mengadovsi dan menjalankan amanat reformasi. Pertanyaan semacam ini pada dasarnya telah menginternal pada jiwa masyarakat Banten sendiri yang tengah merindukan adanya perubahan fundamental terhadap nasib hidup mereka, ketika daerah Banten dinyatakan sebagai sebuah propinsi.

Jangan Terjebak Paradigma Lama

Lahirnya Propinsi Banten tentunya didorong oleh keinginan seluruh masyarakat Banten untuk memperbaiki kualitas kehidupannya. Karena Banten yang merupakan buffer zone (daerah penyangga) Ibukota dan bahkan telah tumbuh sebagai daerah kosmopolitan dengan hadirnya ratusan industri besar serta beberapa mega proyek yang menelan investasi triliyunan rupiah, secara realitas masih masuk dalam kategori daerah tertinggal. Ketertinggalan Banten ini dikarenakan jauhnya jarak dari Ibukota Propinsi (Bandung), sehingga pembangunan di Wilayah Banten menjadi “dianaktirikan”. Karakter pembangunan semacam ini, mengambil istilah Andre Gunder Frank masuk dalam kategori hegemoni kekuasaan metropolis atas daerah-daerah satelitnya dengan membangun pusat-pusat pertumbuhan di daerah satelitnya, untuk mengambil surplus ekonomi. Dalam bahasa yang lebih fulgar pendekatan pembangunan model metropolis-satelit merupakan sebuah ekspansi atau penjajahan yang terselubung.

Model pembangunan seperti di atas, dalam struktur pemerintahan otonomi daerah saat ini sulit untuk mendapat tempat, kerena secara struktural antara Propinsi dengan Kabupaten atau Kota mempunyai kedudukan yang sama. Hubungan antara Propinsi dengan Kabupaten atau Kota hanya bersifat koordinatif. Namun demikian yang perlu mendapat perhatian utama adalah kemandirian Kabupaten atau Kota jangan lagi menciptakan system satelit-metropolis. Di samping itu paradigma pembangunan harus mengacu pada paradigma baru yang oleh para aktor pembangunan sering tidak dipahami secara proporsional.

Banten merupakan sebuah propinsi baru yang secara alamiyah kaya akan SDA yang oleh banyak pakar lingkungan sering dikatakan sebuah “daerah yang masih perawan”, harus dioptimalisasikan eksploitasi dan pengembangannya dengan memperhatikan dampak lingkungan setempat, sehingga hasilnya dapat dirasakan oleh seluruh masyarakat Banten. Adanya sumber-sumber potensial yang dapat memberikan pemasukan terhadap Pemerintah Banten jangan melulu dijadikan sebagai pemupukan kekayaan pemerintah dengan dalih pertumbuhan ekonomi. Pengejaran terhadap pertumbuhan ekonomi hanya menjadi sebuah symbol sloganistik yang lebih mengedepankan popularitas pemerintah, ketimbang kesejahteraan masyarakat.

Pendekatan seperti ini dalam evolusi makna pembangunan dikenal dengan strategi pertumbuhan ekonomi yang banyak dianut negara-negara Eropa, dengan pemikir-pemikirnya seperti Arthur Lewis, WW Rostow, Hirschman, dan lain-lain. Arthur Lewis dalam bukunya The Theory of Economic Growth menjelaskan bahwa pada dasawarsa 1950-an, pembangunan diidentikan dengan pertumbuhan di bidang ekonomi. Paham developmentalisme gaya Eropa diindikasikan dengan naiknya masyarakat borjuis sebagai kelas ekonomi dominan yang diidentikkan dengan keberhasilan pembangunan, dengan demikian “pertumbuhan” dijadikan sebagai ide bagi perkembangan masyarakat.

Dalam pendekatan pertumbuhan orientsi pembangunan melulu mengedapankan peningkatan pendapatan perkapita. Dengan meningkatnya pendapatan perkapita diharapkan dapat mengatasi masalah-masalah seperti pengangguran, kemiskinan, dan ketimpangan distribusi pendapatan, melalui apa yang dikenal dengan trickle down effect (dampak meretas ke bawah). Dalam hal ini disinyalir bahwa keberhasilan pembangunan dilihat dari sisi akumulasi pendapatan penduduk per kapita.

Akumulasi pendapatan penduduk ternyata tidak mencerminkan tingkat kesejahteraan. Bahkan dalam dataran praktis telah dapat minimbulkan gap (kesenjangan) distribusi pendapatan antara kelas elite dengan masyarakat biasa. Kesenjangan pendapatan ini pada akhirnya menjadi pemicu ketidakadilan sosial dalam semua dimensi kehidupan. Oleh karena itu pendekatan pertumbuhan yang dikenal dengan paradigma pembangunan tradisional (klasik) kemudian ditinggalkan, dengan lebih memperhatikan terhadap kualitas dari proses pembangunan itu sendiri. Maka pada tahun 1970-an dikembangkan model pembangunan yang mengupayakan mewujudkan memberantas kemiskinan, pengangguran dan mengatasi ketimpangan sosial.

Dalam konteks ini Dudley Seers (1973) melakukan redifinisi pembangunan dalam konteks tujuan sosial. Akumulasi paradigma pembangunan akhirnya dapat memunculkan paradigma baru dalam pembangunan yang lebih mengedepankan pertumbuhan dengan distribusi, kebutuhan pokok (basic needs), pembangunan mandiri (self-reliant development), pembangunan berkelanjutan dengan memperhatikan terhadap alam (ecodevelopment), dan pembangunan yang memperhatikan ketimpangan pendapatan menurut etnis (ethnodevelopment). Dengan demikian, paradigma pembangunan baru dapat dikatakan lebih menitikberakan pada dimensi pemerataan ketimbang pertumbuhan.

Dengan memperhatikan perkembangan strategi pembangunan, dapat dijadikan acuan oleh pemerintah di Propinsi Banten dan jajarannya untuk tidak terjebak pada paradigma lama. Ketika paradigma pertumbuhan dihidupkan kembali oleh pemerintahan di Banten, maka yang akan terjadi hanyalah penumpukan kekayaan pada lingkaran tertentu, sehingga essensi dari lahirnya Propinsi Banten menjadi terabaikan yaitu mewujudkan kesejahteraan masyarakat dalam konteks pembagian “kue” pembangunan secara berkeadilan. Bila hal ini terjadi, apalah bedanya antara Banten yang dulu sebelum propinsi dengan sekarang setelah jadi propinsi. Tentu harapnnya adalah terjadi perubahan pembangunan fundamental dan signifikan yang dapat dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat Banten.

Mengusung Amanat Reformasi

Di sisi lain, harus disadari bahwa lahirnya Propinsi Banten dibarengi dengan semangat reformasi yang tengah menggelinding di pentas kehidupan nasional. Oleh karena itu, semangat reformasi harus menjadi dasar pijakan untuk menjalankan roda pemerintahan di Propinsi Banten. Reformasi bukan sekadar menjadi sebuah slogan untuk melahirkan sebuah propinsi, akan tetapi harus diusung dalam bingkai kehidupan pemerintahan yang ideal, yaitu melahirkan pemerintahan yang baik (good governance) dengan focus utama pemberantasan KKN dan penegakkan supermasi hukum.

Hadirnya Propinsi Banten jangan dijadikan ajang perebutan “kue pembangunan” oleh masyarakat atau tokoh masyarakat setempat dengan dalih apapun, terlebih alih-alih sebagai pelopor pejuang pendiri Propinsi Banten. Tanpa dukungan luas seluruh rakyat Banten, sebuah Propinsi Banten tidak akan pernah terwujud. Dengan demikian, hadirnya Propinsi Banten harus disadari sebagai sebuah refleksi dari akumulasi keinginan seluruh rakyat Banten untuk menciptakan peningkatan kualitas kehidupan dalam system pemerintahan daerah yang mandiri.

Dalam kaitan ini, maka pelaksanaan pembangunan di Propinsi Banten perlu mengacu pada prinsip good governance. Sebagai propinsi yang baru terbentuk dengan didasari keinginan seluruh lapisan masyarakat di Banten untuk menciptakan pemerintahan daerah yang mandiri, konsekwensi logisnya segala kebijakan dan program-program yang akan dilaksanakan oleh pemerintah setempat harus transparan (terbuka), akuntabilitas (baik pengelolaan keuangannya), dan responsibilitas (dapat dipertanggung-jawabkan) kepada seluruh warga masyarakat. Sehingga tidak ada lagi issue-issue negatif tentang pelaksanaan pembangunan di Propinsi Banten, seperti pola rekruitmentasi Pegawai Negeri di Propinsi Banten yang syarat dengan KKN, dan pengelolaan proyek-proyek pembangunan yang hanya dikuasai oleh kelompok tertentu dengan mengatasnamakan organisasi profesi sebagai pengelola kegiatan perekonomian di wilayah Propinsi Banten. Fenomena semacam ini justeru menjadi ironis dengan amanat reformasi.

Sesungguhnya Pemerintahan Propinsi Banten mempunyai hak untuk melakukan peninjauan terhadap organisasi-organisasi yang ada di wilayahnya, baik menyangkut organisasi profesi ataupun organisasi kemasyarakatan lainnya. Bila organisasi-organisasi tersebut kedapatan menyimpang dalam melaksanakan tugasnya yang merugikan bukan saja pada sisi pelaksanaan pembangunan akan tetapi membuat ketimpangan distribusi pendapatan kepada seluruh lapisan masyarakat, maka Pemerintahan Propinsi Banten dapat mengambil tindakan yang tegas, bila perlu membubarkannya. Dalam hal ini suara legislative di Banten nyaris tidak pernah terdengar, apakah karena ketidakmampuannya karena factor kualitas SDM ataukah karena merasa phobia-kejawaraan yang masih menjadi primadona di Daerah Banten. Faktor yang terakhir ini, sesungguhnya bila dilihat dalam perspektif histories, maka didapati bahwa eksistensi kejawaraan di Banten lebih untuk mengawal proses keadilan bagi masyarakat, bukan untuk kepentingan mendapatkan limpahan materi bagi individu atau kelompoknya.

Dengan demikian, pengejawantahan good governance tidak cukup hanya disampaikan kepada wakil-wakil rakyat di DPRD Propinsi Banten, karena keberadaan mereka tidak lebih sekadar pemaknaan simbolik dari sebuah system pengelolaan pemerintahan daerah. Proses terbentuknya DPRD Propinsi Banten bukan didasarkan pada hasil pelaksanaan pemilihan secara langsung oleh masyarakat Banten, akan tetapi hasil pembagian proporsional antar Parpol peserta Pemilu Tahun 1999 –padahal Banten sendiri baru disahkan menjadi Propinsi pada tahun 2000. Fakta ini dapat dipahami bahwa pilihan masyarakat Banten mungkin saja tidak melihat lagi Parpol mana yang dikehendakinya, akan tetapi lebih pada siapa orang yang akan mewakili mereka di DPRD. Maka jangan lagi masyarakat Banten diasumsikan sebagai masyarakat yang termarjinalisasi, buta politik, dan mudah untuk dijadikan subordinasi atau hegemoni kekuasaan. Oleh karena itu transparansi, akuntabilitas, dan responsibilitas pemerinah Propinsi Banten dalam melaksanakan tugas-tugasnya perlu diketahui oleh seluruh lapisan masyarakat.

Dalam perspektif peningkatan SDM, semangat reformasi lebih mengedepankan persoalan profesionalisme. Profesionalisme pengelolaan sumber-sumber potensial di Wilayah Banten akan dapat menciptakan pendapatan daerah yang signifikan, yang pada gilirannya dapat berimplikasi logis terhadap peningkatan kualitas hidup wargan masyarakat Banten. Oleh karena itu, masyarakat Banten dituntut untuk meningkatkan kualitas diri secara individual bila tidak ingin menjadi tamu di rumahnya sendiri. Karena rotasi globalisasi tidak mungkin dicegah untuk masuk ke Wilayah Banten, sehingga kompetisi SDM atau meminjam istilah sosiolog maddison investment in man untuk mengelola potensi yang ada akan semakin terbuka dan kompleks.

Dengan latar minimnya profesionalisme SDM lokal, maka tidak dapat disalahkan bila peran-peran strategis dalam pengelolaan pembangunan di Wilayah Banten dipegang bukan oleh putra daerah, jabatan Gubernur misalnya. Hal ini dikarenakan Banten memerlukan orang-orang yang memiliki kapabelitas dan profesionalitas yang mempuni untuk mengelola pembangunan di wilayahnya. Bila dipaksakan pengelola pembangunan di Banten harus putra daerah yang tidak memiliki kapabelitas dan profesionalitas yang jelas, maka pelaksanaan pembangunan di Banten hanya merupakan sloganistis dan hanya menyuburkan iklim KKN, tanpa menghasilkan peningkatan kualitas pembangunan.

Atas paparan di atas, dapat dipahami bahwa upaya peningkatan kulitas pembangunan di Wilayah Banten lebih baik mengacu pada paradigma pemerataan pembangunan bukan pertumbuhan. Dalam implementasi program-program pembangunan, pemerintah Daerah Banten harus dapat mewujudkan good governance dengan didasari oleh semangat reformasi. Bila kedua upaya ini dapat dilaksanakan oleh para pengelola pembangunan di Wilayah Banten, maka cita-cita mewujudkan Propinsi Banten yang menjadi keinginan seluruh lapisan mayarakat Banten dapat terwujud dengan fokus utama kesejahteraan seluruh masyarakat Banten. Semoga.



§ Penulis adalah Ketua Umum DPP Generasi Muda Mathla’ul Anwar (GEMA-MA), saat ini tengah menyelesaikan studi S2 di FISIP, Universitas Muhammadiyah Jakarta. Tulisan ini dikirimkan kepada Surat Kabar Harian Banten, dengan harapan dimuat pada Kolom Opini. Terima kasih atas perhatiannya. Ciputat 18 Juni 2002.

Harian Media Indonesia

Kepada Redaktur

Harian Media Indonesia

di

Jakarta

Saya kirimkan tulisan berjudul KNPI Versus PPI sebagai tanggapan atas Opini Pembaca dengan judul PPI dan Paranoia Politik. Dengan harapan dapat dimuat dalam rubrik FORUM di harian ini. Adapun data pribadi saya dapat dilihat di bawah ini:

Nama : SON HAJI UJAJI

Jabatan : Ketua Umum DPP GEMA Mathla’ul Anwar

Alamat : Komplek Harperindo Blok AA1/D-21, RT.01/10, Cempaka Putih – Ciputat.

Telepon : 0818669740

Demikian saya sampaikan, atas perhatiannya diucapkan terima kasih.

Jakarta, 28 Juli 2007.

Hormat Saya,

Ttd

SON HAJI UJAJI

KNPI VERSUS PPI

Di harian ini pada hari sabtu tanggal 28 Juli 2007 di rubric FORUM tentang Opini Pembaca dimuat tulisan yang bertema PPI dan Paranoia Politik oleh saudara Akhmadsyah. Dia beranggapan bahwa kehadiran Partai Pemuda Indonesia (PPI) menjadi paranoia (ketakutan yang berlabihan) politik bagi Organisasi Kemasyarakatan Pemuda (OKP) dan sebagian partai politik yang ada, karena PPI akan mengurangi pemilih pemuda bagi partai-partai yang ada secara signifikan. Argumentasi dia didasarkan atas ketidakterwakilannya pemuda dalam memperjuangkan hak-haknya di ranah DPR dan DPD RI.

Bagi OKP yang berhimpun di KNPI yang sampai kongres ke XI sudah mencapai 61 OKP, kehadiran partai politik baru dengan menggunakan penamaan apapun bahkan mengambil ”label pemuda” tidak menjadi persoalan dan dipesilahkan kepada siapa saja yang ingin mendirikan dengan tujuan mengambil simpati dari kalangan pemuda Indonesia. Namun yang harus menjadi catatan utama adalah jangan menjadikan lembaga KNPI sebagai sandaran dan lahan garapan bagi sebuah partai politik.

KNPI sebagai sebuah lembaga tempat bernaungnya OKP mutlak memiliki asas independen (tidak memihak). Independen dalam bidang politik ini dapat diartikulasikan bahwa KNPI sebagai wadah berhimpunnya kekuatan Pemuda Indonesia tidak diperbolehkan memihak pada salah satu kekuatan politik tertentu. Karena OKP yang berhimpun di KNPI terdiri dari berbagai unsur kepemudaan, baik dari unsur pemuda keagamaan, pemuda nasionalis, mahasiswa, pemuda profesi bahkan pemuda partai politik. Jadi KNPI sebagai wadah berhimpun ini yang notabene ”pemilih sahamnya” adalah OKP-OKP yang berhimpun harus bisa menjaga netralitas dan iklim kondusifitas di kalangan kepemudaan, khusunya bagi OKP-OKP yang berhimpun di dalamnya.

Mari kita lihat lahirnya PPI (Partai Pemuda Indonesia) yang beberapa bulan lalu dideklarasikan dengan Ketua Umumnya adalah Ketua Umum DPP KNPI sendiri yakni saudara Hasanudin Yusuf. Dalam sturktur kepengurusan PPI sebagian besar didominasi oleh unsur pengurus harian KNPI dengan Sekretaris Jenderalnya adalah Ketua DPD KNPI Papua. Juga dalam setiap kali kunjungan ke DPD-DPD (daerah-darah), disinyalir adanya ajakan pembentukan DPD PPI di mana DPD KNPI berada. Namun ajakan dari oknum-oknum DPP KNPI pada DPD-DPD, tidak mendapatkan respon yang positif.

Hal ini menjadi realitas yang objektif, di mana seorang Ketua Umum KNPI yang merangkap menjadi Ketua Umum PPI ibarat dua sisi mata uang, artinya perannya tidak bisa dipisahkan dari dua lembaga yang dipimpinnya. Secara jujur harus kita akui, hal ini akan membawa kerancuan terhadap pemaknaan independensi KNPI dan akan menodai netralitas KNPI sebagai wadah berhimpunnya setiap elemen kepemudaan. maka sangat wajar, bila kemudian OKP-OKP yang berhimpun di KNPI yang pada awal Juli lalu melakukan pertemuan di JDC-Jakarta dengan dihadiri oleh 40 OKP, melakukan kritik terhadap kinerja DPP KNPI saat ini yang tidak produktif terlebih adanya pendirian PPI oleh Ketua Umum KNPI, dengan melahirkan mosi tidak percaya dan sesegera mungkin saudara Ketua Umum KNPI bisa mengundurkan diri dan lebih berkonsentrasi mengurusi partianya yaitu PPI.

OKP sebagai ”pemilik saham” KNPI tidak mau lembaga KNPI ditumpangi oleh kepentingan orang per orang sebagai fungsonaris KNPI demi sebuah ambisi kekuasaan. Bila ini terjadi (seperti lahirnya PPI yang dibidani oleh KNPI), maka itu sama dengan terjadinya pengangkangan terhadap eksistensi OKP yang berhimpun di KNPI. Dan bila dilihat lebih jauh, adanya semangat PPI untuk menyuarakan kepentingan pemuda dengan mendirikan partai politik, ini artinya sama dengan membuat perangkap kepemudaan yang dengan sendirinya akan mengkerdilkan peran pemuda dalam bingkai kehidupan berbangsa dan bernegara.

OKP-OKP yang berhimpun di KNPI sedikit pun tidak bersikap paranoia atas dideklarasikannya PPI. Siapa pun warga negara berhak menyatakan pendapat dan diberi kebebasan untuk berserikat dan berkumpul, itu sudah menjadi konsensus bangsa ini yang tertuang dalam UUD RI. Bahkan OKP-OKP mendorong agar saudara Hasanudin Yusuf lebih berkonsentrasi untuk mengurusi PPI sebagai perwujudan haknya sebagai warga negara.

Dan untuk menjaga netralitas sebagai Ketua Umum KNPI dan Ketua Umum PPI, tidak ada pilihan kecuali yang bersangkutan mengundurkan diri sebagai Ketua Umum DPP KNPI. Karena mengurus partai politik itu tidak mudah, terlebih menghadapi verifikasi partai baru agar bisa berkompetisi pada Pemilu 2009, apalagi PPI adalah sebuah partai baru yang harus melakukan kerja ekstra untuk melakukan konsolidasi partai ke daerah-daerah. Dalam hal ini Hasanudin tentunya akan lebih berkonsentari pada PPI ketimbang ngurus KNPI. Biarkan KNPI sebagai lembaga tempat mewadahi kepentingan pemuda dari berbagai elemen kepemudaan, tatap bisa menjaga independensi dan netralitasnya.

Dalam hal pendirian PPI, mungkin akan timbul pertanyaan, bukannya para Ketua Umum KNPI dulu juga berpartai? Tentu jawabannya adalah iya. Namun ada dua hal yang membedakannya yaitu, petama Ketua Umum KNPI dulu walaupun berpartai tetapi mereka bukan sebagai Ketua Umum Partai Politik Kedua, Ketua Umum KNPI dulu, mereka berpartai sebelum mereka dipilih sebagai Ketua Umum KNPI, namun yang terjadi pada Ketua Umum KNPI sekarang adalah memang sebelum dipilih dia adalah sebagai kader PDIP, tapi setelah dipilih (menjadi Ketua Umum KNPI) dia mendirikan PPI dan sekaligus sebagai Ketua Umumnya. Ini adalah sebuah fakta yang sangat ironis dan bila OKP yang berhimpun di KNPI membiarkan hal ini terjadi, sama artinya membiarkan adanya sebuah proses pembodohan dan subordinasi.

Mudah-mudahan opini ini dapat menjadi sebuah pandangan yang positif bagi Pemuda Indonesia, khususnya bagi saudara Akhmadsyah yang mempertanyakan kegusaran pemuda dengan bahasanya paranoia. Perlu menjadi catatan utama kita bahwa pemuda sebagai sebuah kekuatan moral (moral force) mutlak dituntut berperan aktif dalam mengisi pembangunan bangsa ini, terutama dalam hal pembangunan demokrasi.

Peran pemuda untuk menyuarakan kepentingan pemuda dan kepentingan bangsa yang lebih besar, tidak harus dikotakkan dalam sebauah kelembagaan partai politik. Dalam hal ini sejarah telah membuktikan gerakan pemuda mulai dari tahun 1928 dengan Sumpah Pemuda, 1945 Proklamsai Kemerdekaan RI, 1966 Lahirnya Orde Baru, dan 1998 Lahirnya Orde Reformasi, telah dapat melahirkan kehidupan bangsa yang lebih baik, tanpa harus dikotakkan dalam sebuah wadah atas nama partai politik.

Adapun adanya keinginan peran pemuda lebih kongkrit dalam kehidupan bangsa ini, bisa dilakukan dengan meminta kuota pemuda lebih besar dalam agenda politik yang akan datang. Misalnya hal ini dapat didialogkan antara elemen kepemudaan dengan lembaga eksekutif dan legislatif agar kuota pemuda dimasukan ke dalam RUU Politik yang saat ini tengah digodok di DPR. Jadi, peningkatan peran pemuda dalam agenda politik, tidak harus pemuda ikut latah membentuk partai politik, tapi ada yang lebih elegant dari itu yang mana kepentingan pemuda dapat tersalurkan dan keberadaan pemuda dapat diperhitungkan dengan kualitas individunya, bukan pengkerdilan pemuda atas nama partai politik dengan label pemuda.

PEMERINTAHAN GUSDUR DAN TRANSISI DEMOKRASI DI INDONESIA

Pendahuluan

Sangat luar biasa perhelatan politik di Indonesia, ketika dihadapkan pada suksesi kepemimpinan. Sejak berdirinya republik tahun 1945 sampai saat ini, terhitung lamanya kemerdekaan sudah mencapai 57 tahun, bila dirata-ratakan priodisasi pemerintahan selam lima tahun, maka menurut logika sehat akan terjadi suksesi kepemimpinan dengan melahirkan minimalnya 11 pemimpin nasional alias presiden. Namun pada tataran relitas sungguh sangat ironis, selama kurun waktu 54 tahun bangsa yang besar ini hanya dipimpin oleh 2 orang presiden. Presiden yang pertama medapat julukan the founding father dengan memimpin bangsa selama 22 tahun dan presiden kedua yang mendapat anugran bapak pembangunan yang memimpin bangsa selama 32 tahun. Sisa priodisasi kepemimpinan nasional selama 3 tahun terakhir dilakukan tiga kali suksesi kepemimpinan, dengan melahirkan 3 orang presiden.

Kondisi semacam ini mencerminkan bangsa Indonesia sebagai bangsa yang memiliki karakter tersendiri dalam mengurusi persoalan kehidupan bangsanya. Di satu pihak dapat dikategorikan sebagai bangsa yang lembut dan santun yang penuh kepatuhan terhadap pemimpinnya. Hal ini terbukti dengan langgengnya 2 orang presiden pertama dan kedua dalam memegang tapuk kepemimpinan. Namun di sisi lain, pada akhir-akhir ini bangsa Indonesia identik dengan bangsa yang mudah terpropokasi, sehingga menjadi beringas dan kadang-kadang tidak bermoral. Timbulnya dua latar di atas dapat menggambarkan bahwa kondisi umum bangsa dalam tatanan kehidupan kebangsaan mencerminkan bangsa yang mudah untuk digiring dalam sebuah frame atau kerangka kehidupan kebangsaan di bawah satu komando yang dinamis dan “seolah-olah” dapat mengayomi kebutuhan masyarakat secara umum.

Substansi persoalan yang dihadapi oleh bangsa ini adalah bagaimana mengembalikan citra dan watak dasar bangsa yang santun, beradab, dan penuh dinamika kehidupan yang heterogenitas dengan dibarengi oleh watak toleransi dan sikap egalitarian. Upaya untuk mengembalikan watak dasar ini, tidak bisa dilakukan secara serta merta oleh seluruh komponen masyarakat tanpa didukung oleh piranti kehidupan kebangsaan dan kenegaraan yang baik. Piranti primer untuk mendukung upaya tersebut adalah menegakan demokratisasi di segala bidang kehidupan, dengan dibarengi penegakkan supremasi hukum dan menjalankan good governance dan clean government.

Awal dari kesadaran akan pentingnya implementasi piranti primer kenegaraan itu, telah dimulai semenjak tumbangnya rezim orde baru dengan diteruskan oleh seorang pemimpin yang genius yaitu B.J Habibie, dengan membuka kran demokrasi dan membawa panji-panji kebebasan untuk mengekspersikan pendapat bagi setiap warga bangsa. Gerbang demokratisasi dalam beberapa aspek kehidupan bangsa diperkuat lagi ketika Abudrrahman Wahid alias Gus Dur menjabat sebagai Presiden RI keempat setelah Habibie. Gus Dur selalu membuka wacana demokrasi dalam berbagai momentum yang secara edukatif berimplikasi pada penyadaran akan hak sebagai warga bangsa. Namun demikian, perlu mendapat catatan khusus bahwa masa pemerintahan Gus Dur merupakan sebuah masa transisi demokrasi di Indonesia, karena pada saat inilah transfer kehidupan kenegaraan yang dulu dikungkung oleh pemerintahan otoriter ke kehidupan yang relatif demokratis.

Kelincahan Gus Dur untuk mengelola sebuah negara dengan mengedepankan panji demokrasi, akhirnya kandas juga ketika sang democrat itu terjebak dalam persoalan skandal bulog gate sebesar 40 milyar rupiah dan brunai gate sebesar 2 juta US dollar. Skandal itu sesungguhnya lebih dipicu oleh adanya “tim pembisik” presiden yang melulu mencari keuntungan material dibalik otoritas yang dimiliki sang presiden. Tumbangnya Gus Dur atas dasar impeachment parlemen itu, kemudian digantikan oleh wakilnya yaitu Megawati Soekarnoputri. Kepemimpinan Megawati lebih memuluskan jalannya proses demokratisasi yang telah dirintis oleh dua orang peresiden sebelumnya –Habiebie dan Gus Dur. Megawati telah mampu melakukan pengawalan terhadap suksesnya Pemilu Presiden secara langsung oleh rakyat Indonesia yang pertama kalinya sejak republik ini berdiri. Namun dibalik susksesnya menghantarkan masa transisi demokrasi, Mega tidak mampu untuk bertahan sebagai Presiden pada Pemilu Presiden secara langsung. Hal ini bukan saja karena sikap Mega yang selama ini apatis dalam merespon fenomena kebangsaan yang ada, akan tetapi karena ulah para pembantunya yang seringkali menodai nilai demokrasi yang tengah disemaikan.

Pemilu presiden telah usai, sebagaimana kita ketahui bahwa pasangan Susilo Bambang Yudhoyoo (SBY) dan Jusuf Kalla (JK) akhirnya keluar sebagai pemenang dan dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden untuk masa bakti 2004 – 2009. Dalam gebrakan awalnya, SBY mencanangkan program 100 hari masa pemerintahan, sebagai starting point untuk melaksanakan program pemerintahannya ke depan. Pencanangan 100 hari pemerintahan SBY mengundang pro dan kontra di kalangan masyarakat, ada yang melihatnya sebagai sebuah rekonstruksi pemerintahan ke depan ada juga yang melihatnya sebagai “gula-gula politik” pemerintahan SBY.

Pencalonan Gus Dur Sebagai Antisipasi Krisis Kehidupan Bangsa

Munculnya kepemimpinan “transisi” di bawah komando Habibie nampaknya benar-benar telah membuka tabir demokrasi. Salah satu pilar demokrasi yang sangat fundmental yakni kebebasan berpendapat dan berserikat/berkumpul yang selama 32 tahun dipetieskan oleh rezim Soeharto dan rakyat tidak dapat menikmatinya bahkan mimpi untuk itu pun dilarang, dalam waktu sekejap dapat didobrak oleh soerang Habibie yang notabene “ahli waris” rezim Soeharto sendiri. Masa transisi Habibie patut dijadikan acuan bagi pemimpin-pemimpin Indonesia selanjutnya, karena dalam situasi politik dan ekonomi yang kacau, Habibie dapat mengendalikan keadaan bangsa relatif tenang dan mengantarkan Pemilu dengan aman dan lancar.

Terbukanya kran kebebasan berpendapat dan berserikat, dengan serta merta telah melahirkan bentuk aliansi-aliansi strategis dalam wacana politik kebangsaan. Menjamurnya Parpol menjelang Pemilu, kritik dari berbagai kalangan yang peduli akan nasib bangsa yang bersifat konstruktif untuk perjalanan bangsa ke depan dalam bentuk dialog-dialog interaktif, serta munculnya gerakan-gerakan yang bertameng ‘moralitas’ dengan mengatasnamakan demi rakyat Indonesia, menjadi bukti bahwa mayoritas rakyat Indoensia sangat merindukan dan mendambakan alam kebebasan. Untuk mengawal proses demokratisasi inilah agar kehidupan kenegaraan menjadi lebih baik, maka Gus Dur menjadi pilihan alternatif untuk dicalonkan menjadi Presiden.

Pencalonan Gus Dur menjadi Presiden RI keempat mengejutkan banyak pihak. Berbagai tafsir muncul untuk mencari makna di balik pencalonan tersebut. Ada yang masih ragu dan menganggap pencalonan Gus Dur hanya menuver untuk mendulang suara yang nantinya akan dialihkan kepada Megawati, sehingga kelompok garis Islam mengantisipasinya lewat pencalonan Yusril Ihza Mahendra. Ada pula yang menganggap bahwa poros tengah tuidak serius untuk mencalonkan Gus Dur, ini hanya sekadar manuver untuk menarik perhatian ketika pamor mereka mulai redup.

Tafsiran-tafsiran itu mencerminkan ketidakyakinan atas apa yang telah terjadi meski Gus Dur menyatakan diri siap dan menerima pencalonan dirinya. Namun, semua itu kehilangan relevansinya ketika Fraksi Reformasi menyampaikan pencalonan Gus Dur secara formal. Dengan pencalonan dari Fraksi Reformasi secara formal ini, kemudian Gus Dur menerimanya secara terbuka.

Terdapat beberapa argumentasi dari Gus Dur untuk menerima pencalonan dirinya, meskipun jauh sebelum itu dia secara terbuka mendukung Megawati untuk menjadi Presiden. Pertama, untuk mencairkan ketegangan di masyarakat akibat adanya kristalisasi dan idiologisasi kubu pendukung calon-calon presiden yang telah ada. Misalnya ada yang bertekad akan datang ke Jakarta untuk mengepung Senayan saat SU-MPR. Lebih ekstrimlagi tersiar issue akan terjadi kerusuhan masal jika Megawati tidak terpilih menjadi Presiden.

Fanatisme terhadap kandidat Presiden Megawati ini mendapat reaksi balik dari pendukung kandidat Presiden Habibie dengan ancaman yang senada. Misalkan dari Front Pembela Islam, Gerakan Pemuda Ka’bah, masyarakat wilayah timur Indonesia terutama dari Sulawesi, dan sebagainya siap mati demi mempertahankan Habibie.

Jika keadaan ini dibiarkan, bukan tidak mungkin akan terjadi perpecahan karena siapapun yang terpilih akan memancin reaksi penolakan. Di sinilah perlunya ada pengkondisian agar kristalisasi masa tersebut tidak mengeras tetapi justru mencair. Dalam upaya mencairkan kristalisasi dan idiologisasi masa kepada kandidat Presiden ini, maka Gus Dur yang dianggap mampu untuk menjembatani kebuntuan dan mengakomodasi kedua kepentingan di atas, menerima pencalonan dirinya. Dengan demikian benturan masa dapat dihindarkan.

Kedua, Gus Dur melihat tantangan terbesar yang dihadapi bangsa Indonesia yang membutuhkan pemikiran jernih, langkah strategis, komitmen tinggi, dan sikap arif dalam melihat dan memahami persoalan. Hal-hal semacam ini tidak terlihat selama SU-MPR berlangsung. Berlarut-larutnya perdebatan membahas tata tertib dan aturan yang bisa mengamankan kepentingan masing-msaing kelompok, semntara pembahasan mengenai hal-hal yang bersifat mendasar terkait dengan nasib bangsa justru tidak terlihat menjadi fokus perdebatan.

Melihat realitas semacam ini Gus Dur merasa terpanggil untuk menyelesaikan dan manjawab masalah secara lansung. Dalam rangka meneguhkan posisinya sebagai “guru bangsa” dia perlu tampil kedepan menjadi Presiden, ketika kandidat-kandidat lain terjebak pada pusaran persoalan yangn makin pelik dan rumit. Dengan cara seperti ini Gus Dur merasa dapat mengawal proses perjalanan bangsa secara langsung, mengajari para pemimpin bangsa dalam menjaga keutuhan bangsa.

Dari argumentasi di atas dapat dipahami bahwa rivalitas Gus Dur dalam perebutan kursi Presiden saat itu sebenarnya bukan Megawati atau Habibie, tetapi kekuatan lain yang lebih besar yang ada di balik kedua kandidat tersebut. Dengan kata lain, pencalonan Gus Dur merupakan upaya melawan kepentingan dan kekauatan lain yang mencoba bermain dalam kancah perpolitikan Indonesia melalui elit-elit politik. Di samping itu juga untuk membangkitkan semangat kebersamaan dan memelihara kepentingan bersama bangsa Indonesia yang saat ini terancam perpecahan.

Kalau kondisi semacam ini dipahami oleh semua pihak, maka kemenangan Gus Dur dalam perhelatan perebutan kursi Presiden ketika itu semata-mata dianggap dapat menetralisir berbagai benturan kepentingan yang sedang bermain. Pencalonan Gus Dur ini lebih mencerminkan adanya kondisi darurat kehidupan kebangsaan daripada sebuah langkah politis merebut kekuasaan. Dalam kondisi emergency inilah sesungguhnya dibutuhkan pemimpin yang dapat membangun kesadaran semua warga bangsa untuk tetap bersatu dan bersama menghadapi tantangan. Di sinilah letak urgensi pencalonan Gus Dur yang lebih menekankan untuk mengantispasi krisis kehidupan bangsa yang ada.

Harapan Versus Tindakan Pemerintahan Gus Dur

Berbagai harapan terhadap duet antara Gus Dur dan Megawati dalam mengendalikan bangsa ini banyak yang memprediksikan dapat membawa keluar bangsa ini dari multi krisis yang tengah melanda dan menyakitkan kehidupan rakyat. Harapan ini, pada tahap-tahap awal perjalanan pemerintahan Gus Dur dibuktikan dengan sikap akomodatif yang tercermin dari terbentuknya kabinet yang berasal dari berbagai kelompok kepentingan dan mewakili semua anasir kebangsaan yang ada. Dan semua anasir yang tergabung dalam kabinat Gus Dur secara serempak mendukung dan menyatakan sanggup untuk memikul bersama demi kepentingan bangsa.

Eksistensi pemerintahan Gus Dur ini disadarai dan dipahami oleh semua elemen bangsa berada di tengah-tengah pusaran transisi demokrasi. Pada masa transisi kebijakan-kibijakan pemerintah harus dapat mengakomodasi kepentingan status quo dan kepentingan reformasi di sisi lain, sehingga balance of power dapat terwujud yang akan berimplikasi pada pemantapan dukungan terhadap eksisrensi pemerintahan dari semua lini. Walaupun garda reformasi muatannya lebih dominan ketimbang status quo, namun dalam menjalankan agenda reformasi terutama dalam dataran teknis pemerintah harus melakukannya secara gradual. Di samping itu, masukan dari semua lini yang menjadi “lawan politik” pemerintah harus menjadi pertimbangan dan masukan utama, terlebih pemilihan Gus Dur menjadi Presiden semata-mata atas dukungan simatik bukan kepentingan politik. Hal ini yang semestinya dipahami oleh Gus Dur sebagai Presiden terpilih ketika itu.

Alih-alih demi kepentingan reformasi, kebijakan awal pemerintahan Gus Dur telah melukai sebagian warga bangsa yaitu dengan membubarkan Departemen Sosial dan Menteri Negara Pemuda dan Olah Raga. Sekalipun tujuannya baik yaitu untuk menciptakan efesiensi di tubuh pemerintaham, namun momentumnya kurang tepat karena adanya ketercabikan kondisi bangsa di tengah krisis ekonomi yang melanda. Juga adanya keinginan untuk mencabut Tap MPR-RI tentang larangan terhadap partai komunis. Bila dilihat dari semangat reformasi dan demokratisasi terutama terkait dengan masalah kebebasan berpendapat dan berserikat hal ini dapat dibenarkan, namun dari segi konsensus nasional berdaasrkan fakta sejarah yang sudah mengkristal hal ini akan menjadi problem tersendiri. Banyak anggapan bahwa hal ini kepentingan Gus Dur semata, untuk mendapat simpati dari para keluarga yang tergabung dalam PKI.§

Perencanaan program pemerintahan semacam ini, tidak didasarkan pada prinsip kelayakan, baik layak secara ekonomis, teknologi, maupun lingkungan strategis yang melingkupinya. Hal ini tentunya berimplikasi pada implementasi perjalanan sebuah roda pemerintahan yang semestinya menggelinding secara mulus, akan tetapi banyak kendala yang menjadi aral yang dapat menyandung perjalanan pemerintahan bahkan mungkin dapat memberhentikannya di tengah jalan. Oleh karena itu, perencanaan program pemerintah harus didasarkan pada objektifitas dan realitas kehidupan bangsa yang ada, buka didasarkan pada kepentingan politik sesaat apalagi kepentingan pihak-pihak pembisik yang memiliki interest individu.

Pada perjalanan berikutnya, gaya politik Presiden Gus Dur berubah dari gaya politik kompromi menjadi gaya politik konflik. Ini terbukti bahwa untuk menjatuhkan lawan-lawan politiknya diciptakan manajemen konflik dan konflik itu dihembusjkan di tingkat level internasional. Seperti menuntut mundur Wiranto ketika Gus Dur berada di luar negeri, dengan alasan bahwa menurut rekoemndasi KPP HAM, Wiranto terlibat dalam pembumihangusan Timor Timur pasca jajak pendapat. Di sinilah awal mulanya keterakan hubungan antara pemerintahan Gus Dur dengan TNI. Lebih parah lagi, ketika Gus Dur mencoba mengobok-obok Polri lewat pemecatannya terhadap Kapolri Bimantoro dengan mendudukan Khaerudin menjabat sebagai Kapolri. Hal ini dalam spekulasi politik Gus Dur akan dapat memperkuat posisi Gus Dur di tengah gencarnya manuver politik dari pihak lawan-lawannya. Namun spekulasinya meleset, karena bukannya dukungan yang didapatkan Gus Dur melainkan semakin renggangnya hubungan antara Gus Dur dengan pihak Polri dan TNI.

Dikarenakan dukungan dalam negeri terhadap pemerintahan Gus Dur dipandang mulai melemah, baik pada kalangan Polri dan TNI maupun poros tengah, PKB, dan PDI-P sudah tidak solid lagi, maka Gus Dur melakukan manuver politiknya di luar negeri melalui bangunan opini yang seolah faktual dan titik singgung urgensinya sangat tepat. Mulai dari lontaran manuver politiknya di luar negeri inilah, Gus Dur lebih sering bongkar pasang kabinetnya, sehingga perjalanan kabinet Gus Dur tidak kondusif dan tidak efektif. Kondisi semacam ini di mata rakyat Indonesia bukan mendapat simpati akan tetapi keheranan dan kemuidan muncul ketidaksempatian rakyat terhadap sosok Gus Dur sebagai pemimpin yang harismatik. Terpilihnya Gus Dur, kemungkinan besar tidak terlibat dalam money pilitic akan tetapi atas dasar kesadaran akan kepentingan bangsa. Namun amanah ini nampaknya tidak dipahami secara mendalam dan diabaikan oleh Gus Dur. Sehingga dalam menjalankan roda pemerintahan, tidak lebih banyak mendengar pendukungnya dulu akan tetapi lebih mengedepankan arogansi dirinya sebagaimana sikap Gus Dur ketika berada di daerah “feri-feri” sebagai tokoh yang vokal dan pengkritik.

Hal yang paling signifikan dari “ulah” Gus Dur sikap membawa diri, sehingga dapat menjatuhkan dia dari singgasana Presiden adalah ketika dia memaksakan untuk mengeluarkan dekrit Presiden yang kemudian menjadi maklumat Presiden yang isinya adalah membekukan MPR/DPR RI. Sikap seperti ini yang tidak saja bertentangan dengan UUD 1945 sebagai landasan formal dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, juga tidak menghormati lembaga tertinggi negara yaitu MPR RI yang dalam UUD 1945 telah digariskan sebagai pemberi dan pencabut mandat bagi Presiden. Arogansi Gus Dur ini, kemudian disambut dengan SI-MPR yang berdasarkan fakta-fakta perjalanan kepemerintahan Gus Dur yang tidak dapat membawa kehidupan negara menjadi lebih baik, bahkan dapat menimbulkan permasalhan dan keresahan di tengah masyarakat dengan statemen-statemen yang terus dilontarkan yang berbau kontroversi.

Di sini terlihat bahwa harapan terhadap pemerintahan Gus Dur yang akan mampu membawa keluar kondisi krisis bangsa dengan didukung oleh sebagaian besar komponen bangsa, baik melalui lembaga politik formal maupun organisasi kemasyarakatan lainnya, ternyata dalam tindakan kepemerintahannya tidak mampu melakukan apa yang diharapkan itu. Yang paling urgen tentunya, Gus Dur tidak dapat menjaga hubungan baik dengan para pendukungnya, paling tidak dapat mempertahankan kabinatnya yang terdiri dari bergabagi multi kepentingan. Mulai dari sinilah, perjalanan pemerintahan Gus Dur tidak mempunyai visi dan arahan yang jelas akan dibawa ke mana bangsa ini. Terlebih Gus Dur sangat direpotkan oleh para pembisiknya yang mempunyai kepentingan individual dan sesaat untuk mengumpulkan materi disaat Gus Dur memimpin. Secara faktual banyak orang kaya baru (OKB) yang nota bene dekat dengan Gus Dur dengan memanfaatkan fasilitas yang ada.

Di samping itu, wacana yang ingin dibangun pada pemerintahan Gus Dur yang orang pun akan percaya bahwa Gus Dur akan mampu memberantas KKN, namun pada kenyataannya Gus Dur sendiri terlibat dalam kasus KKN yakni kasus atau skandal Bulog yang dikenal dengan Bulog-Gate dengan menghabiskan uang negara sebesar 40 milyar rupiah. Di samping skandal-skandal lainnya, seperti bantuan Sultan Brunai Darussalam sebesar 2 juta US Dollar. Di sini terlihat bahwa sikap dan tindakan Gus Dur sebelum menjabat Presiden yang dikenal sebagai seorang yang memperjuangkan demokrasi juga Good Governance dan Clean Government, ternyata setelah menjabat Presiden sikap dan tindakan Gus Dur justru tidak mencerminkan itu. Antara harapan masyarakat akan kejujuran dan ketulusan Gus Dur sebagai orang yang dilahirkan dan dibesarkan dari kalangan agama dengan sikap dan tindakannya selama menjabat Presiden ternyata sangat bertolak belakang.

Analisis

Keterpurukan pemerintahan Gus Dur yang jatuh sangat dramatis dan mengecewakan, disebabkan oleh beberapa hal yang mendasar. Pertama, sebagai pemerintahan koalisi semestinya Gus Dur mempertahankan koalisi yang telah terbangun dengan memperhatikan partai-partai pendukungnya. Namun yang dilakukan Gus Dur adalah mengabaikan bahkan memusuhi partai-partai yang mendukungnya dengan jalan melakukan reshuffle kabinet yang notabene partai pendukungnya, juga membuat jarak dengan komponen bangsa lainnya seperti TNI dan Polri. Kedua, Gus Dur terlalu percaya dengan teman-teman dekatnya yang diistilahkan dengan “pembisik” yang ingin memanfaatkan jabatannya untuk mendapatkan limpahan materi atau posisi-posisi tertentu. Ketiga, Gus Dur merasa bahwa terpilihnya dia sebagai Presiden sebagai perwujudan persetujuan semua komponen bangsa terhadap dirinya untuk mengatasi krisis kenegaraan yang tengah melanda, sehingga apapun tindakannya tentu akan direspon secara positif oleh seluruh komponen bangsa yang ada.

Munculnya ketiga faktor yang mendominasi sikap dan tindakan Gus Dur tersebut, secara sosiologis disebabkan oleh keberadaan Gus Dur yang dilahirkan di lingkungan Pesantren atau Kiyai tradisional yang oleh sebagaian besar masyarakatnya selalu dipatuhi dan dihormati pendapat atau tindakannya. Pada umumnya tradisi pesanteren yang ada sangat dominan untuk tunduk dan patuh terhadap pendapat Kiyainya, sekalipun dalam alam yang telah berubah pendapat Kiyainya itu salah. Sang murid atau santri tidak boleh melakukan sanggahan apalagi kritik, sekalipun sanggahan atau kritik itu bersifat konstruktif, karena hal itu dianggap tidak etis dan akan “kualat”.

Berdasarkan lingkungan seperti itulah Gus Dur lahir, sehingga watak atau karakter dasar pesantren selalu menyertainya. Bisa diperhatikan manakala dia muncul untuk melakukan dialog, di samping sikapnya yang arogan walaupun penuh canda atau guyon juga suka melecehkan keberadaan atau status orang lain. Fakta lain memperlihatkan, ketika bantuan dari Sultan Brunai diterima oleh dia yang telah menjabat sebagai Presiden bantuan tersebut tidak dimasukan dalam keuangan negara, akan tetapi diokelola oleh teman dekatnya. Ini sama halnya dengan manajemen pesantren bahwa seluruh lingkup pekerjaan yang ditangani adalah hak pimpinan untuk mengelolanya, tanpa ada sistem yang baku yang dijadikan sebagai pegangan untuk menjadi alat kontrol kinerja kepemimpinannya.

Di sini sangat jelas bahwa di satu sisi Gus Dur sebagai orang yang sangat cerdas, berpengetahuan luas, berpergaulan luas, orator, dan propokatif, namun di sisi lain Gus Dur tidak memiliki kemampuan manajerial yang baik, sehingga perencanaan yang dituangkan dalam kebijakan-kebijakan pemerintahannya tidak bisa tepat dan efisien. Padahal kunci utama manajerial adalah bagaimana mengelola sesuatu itu bisa efesien dan efektif.

BAHAN BACAAN

Chris Manning dan Peter Van Diermen (Ed.), Indonesia di Tengah Transisi, Aspek-Aspek Sosial Reformasi dan Krisis”, Yogyakarta: LKiS, 2000, Cet. ke-1

Douglas E. Ramage, “Percaturan Politik di Indonesia, Demokrasi, Islam, dan Ideologi Toleransi”, Jogjakarta: MATABANGSA, 2002, Cet. ke-1

I.B. Irawan, Sukidin, Basrowi, “Perencanaan dan Strategi Pembangunan”, Jember: Jember University Press, 2001, Cet. ke-1

Muhammad Najib dan Kuat Sukardiyanto, “Amien Rais Sang Demokrat”, Jakarta: GEMA INSANI, 1998, Cet. ke-1

M. Nipan Abdul Hakim dan Muhammad Zakki, “Gus Dur Sang Penakluk ‘Tanpa Ngasorake’”, Surabaya: LEPKISS, 2000, Cet. ke-1



§ Dalam hal ini, saya pernah dialog secra langsung dengan Jend. TNI (Purn.) Wiranto, beliau mengatakan bahwa sewaktu menjabat Menko Polkam pada kabinat Gus Dur, Gus Dur pernah meminta pendapatnya tentang pencabutan Tap MPR-RI tentang larangan bagi PKI dan Wiranto menjawab tidak usah dicabut. Namun pada kesempatan lain, Gus Dur memerintahkan Yusril untuk menjemput para aktivis PKI yang lari ke luar negeri ketika masa Orde Baru terutama yang ada di Belanda. Dan ketika itu Yusril pun berangat untuk melaksanakan amanat presiden itu. Wiranto mempertanyakan kok Yusril mau-maunya menerima perintah itu yang nyata-nyata bertentangan dengan rasa keadilan dan nurani sebagian besar bangsa Indonesia.

PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DALAM PEMBANGUNAN MELALUI PENINGKATAN KELEMBAGAAN PKK

I PENDAHULUAN

Saat ini kita tengah memasuki era globalisasi, di mana kehidupan di suatu negara tidak dapat menafikan kehidupan di negara lainnya, terlebih telah terwujudnya kesepakatan-kesepakatan international, regional, maupun bilateral dalam hal persaingan bebas, terutama yang bersentuhan dengan lapangan ekonomi. Di tingkat internasional terdapat WTO (Word Trade Organization) yang mengatur perdagangan di tingkat dunia, juga di tingkat regional terutama di Asean telah ditetapkan tahun 2003 sebagai tahun perdagangan bebas di kawasan ini, yaitu dengan disepakatinya AFTA (Asean Free Trade Area). Iklim global seperti ini harus disikapi dengan peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang mampu bertahan dan bersaing di tingkat global, bila tidak ingin digilas oleh globalisasi.

Di samping fenomena globalisasi, pada akhir Abad XX atau memasuki Millenium ke-3 di dunia telah terjadi perubahan besar-besaran di bidang demografi (kependudukan), yaitu makin banyak kota-kota besar tedapat di belahan bumi sebelah selatan dibandingkan dengan keadaan sebelumnya, yang lebih banyak terdapat di belahan bumi sebelah utara. Perubahan itu juga terjadi pada struktur sosial dan ekonomi penghuni kota, yaitu yang sebelumnya minoritas penduduk kota adalah golongan yang berpendapatan rendah, kini menjadi mayoritas. Kalau sebelumnya penduduk kota yang diam dan bekerja di sektor informal merupakan minoritas, sekarang menjadi mayoritas.

Usaha informal terdapat di mana saja di kota-kota besar di dunia, termasuk di dalamnya adalah Indonesia terutama di Daerah Khusus Ibokota (DKI) Jakarta. Ternyata usaha ini tidak mengalami gejolak akibat krisis ekonomi yang melanda usaha-usaha besar formal, yang bahkan menyulitkan ekonomi dan keuangan negara. Usaha informal juga tidak memerlukan bantuan pinjaman dari bank-bank dalam jumlah besar, dan bahkan mereka tumbuh tanpa bantuan siapa pun. Dalam penyerapan tenaga kerja, mereka ternyata cukup signifikan pula dapat memperkerjakan tenaga-tenaga yang semula tenaga tidak trampil menjadi tenaga trampil. Ini berarti mereka sanggup mengurangi angka pengangguran yang bila tidak ditangani secara sungguh-sungguh akan berdampak sosial dan politik yang semakin luas.

Usaha informal yang notabene secara mayoritas tergolong pada jenis usaha kecil memerlukan daya dukung yang tinggi dan tingkat sustainability yang memadai. Tentunya upaya untuk melakukan kedua hal itu sangat proporsional bila menempatkan perempuan sebagai aktor utama dalam menjalankan jenis usaha ini. Karena sifatnya yang flexible, replicable (mudah diproduksi), dan tingkat manajemen sederhana, sehingga dapat dijadikan sebagai komoditas suplemen bagi peningkatan penghasilan keluarga. Dalam hal ini perempuan bisa memainkan perannya secara maksimal dan meningkatkan komuditas suplemen menjadi penghasilan utama dalam keluarga. Pada gilirannya perempuan tidak dipandang sebelah mata lagi dalam perannya sebagai stabilisator dan dinamisator perekonomian keluarga.

Upaya untuk memberdayakan (empowering) kaum perempuan dalam percaturan ekonomi, terlebih melihat tantangan ke depan membutuhkan daya saing yang tinggi, di Indonesia telah ditangkap dan direspon melalui eksistensi lembaga Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga (PKK). Relevansi kehadiran lembaga PKK ini dengan tantangan perekonomian global yang lebih menekankan pada dunia usaha informal, telah direduksi dan dikonstruksi dalam bentuk kegiatan Usaha Peningkatan Pendapatan Keluarga (UP2K). Kegiatan ini harus ditingkatkan, diberdayakan (empowerment), disinergikan dengan kegiatan-kegiatan pemberdayaan ekonomi masyarakat secara mikro, dan dipertahankan keberadaannya. Pada gilirannya akan menjadi sebuah model alternatif pengembangan ekonomi kerakyatan, karena secara institusional dan manajerial lembaga PKK telah eksis dan menyebar di seluruh peloksok negeri.

II PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DALAM PROGRAM UP2K-PKK

Dalam system pembangunan nasional tidak ada satu pun peraturan atau kebijakan yang menghambat kaum perempuan di Indonesia untuk berperan, baik secara politis, ekonomi maupun sector kehidupan lainnya. Bahkan peran perempuan ini selalu dikedepankan dan menjadi perhatian utama dalam kerangka pelaksanaan pembangunan. Hal ini tergambar dari formulasi pelaksanaan program Inpres Desa Tertinggal (IDT) dan Program Makanan Tambahan untuk Anak SD (PMT-SD) yang memfokuskan perempuan sebagai aktor utamanya.[1] Urgensi penempatan peranan dan potensi perempuan dalam proses pembangunan secara optimal akan dapat mempercepat tujuan nasional. Tujuan nasional ini hanya dapat terwujud apabila laki-laki dan perempuan melakukan perannya.

Oleh karena itu upaya pemberdayaan perempuan harus selalu dikedepankan dan mendapatkan prioritas utama, sehingga eksistensi kaum perempuan dalam semua dimensi kehidupan dapat sejajar dengan laki-laki. Dalam hal ini tidak ada lagi gender bias (ketidakadilan jender) yang sampai saat ini di Indonesia masih dirasakan oleh mayoritas kaum perempuan. Terjadinya ketidakadilan jender secara holistic lebih disebabkan oleh adanya konstruksi atau rekayasa sosial yang turun temurun, sehingga terinternalisasi dalam kehidupan masyarakat, berupa suatu bentuk ketidakadilan yang dialami oleh kaum perempuan. Juga faktor religiusitas yang dipahami oleh sebagian besar pemeluknya untuk lebih memberikan hak-hak istimewa (privilege) yang dinikmati kaum laki-laki dalam kedudukan khususnya di dalam kehidupan bersama.

Ketidakadilan jender dalam kehidupan mengambil bentuk-bentuknya yang spesifik, yaitu marjinalisasi, subordinasi, stereotip, dan violence (kekerasan) terhadap kaum perempuan. Keberadaan perempuan dalam struktur ekonomi selalu dikesampingkan (dimarjinalisasikan), sehingga perempuan kehilangan sumber-sumber pebdapatannya. Begitu pula secara struktural perempuan disubordinasi oleh kaum laki-laki, sehingga perempuan harus selalu tunduk dan patuh terhadap struktur kekuasaan laki-laki. Hal ini pada gilirannya dapat menjadikan distorsi bahkan pengendapan terhadap potensi yang dimiliki oleh kaum perempuan. Pada akhirnya perempuan memiliki stereotif sebagai makhluk yang lemah, tidak berdaya, tidak kreatif, dan hanya cocok untuk pekerjaan-pekerjaan domestik un sich. Dengan demikian sering terjadi bentuk-bentuk kekerasan (violence) yang dilakukan oleh laki-laki terhadap perempuan.[2]

Fenomena ketidakadilan gender (gender bias) itu sangat besar pengaruhnya terhadap kehidupan perempuan Indonesia secara umum. Oleh karena itu upaya untuk melakukan penyadaran terhadap perempuan akan pentingnya perspektif gender dalam semua dimensi kehidupan menjadi sebuah keniscayaan. Dari perspektif ini kemudian akan melahirkan bentuk kesadaran baru yakni pemberdayaan perempuan dalam proses pembangunan bangsa. Upaya pemberdayaan perempuan ini pada hakekatnya merupakan peningkatan harkat dan martabat kaum perempuan yang dalam kondisi saat ini tidak mampu untuk melepaskan diri dari perangkap budaya, kemiskinan, dan keterbelakangan. Pemberdayaan ini harus diikuti dengan memperkuat potensi, daya, dan karakter yang dimiliki oleh kaum perempuan.

Dalam kontek pembangunan nasional, pemberdayaan perempuan berarti upaya menumbuhkembangkan potensi dan peran perempuan dalam semua dimensi kehidupan. Perempuan akan mengabil peran-peran penting dalam kapasitasnya sebagai makhluk sosial, terutama dalam rangka peningkatan kualitas pendapatan keluarga. Lembaga-lembaga local yang ada lebih tepat bila diperankan secara langsung oleh kaum perempuan, baik yang bergerak dalam bidang sosial maupun ekonomi. Sesungguhnya kultur perempuan yang ada pada sebagian masyarakat Indoensia adalah bersifat guyub (komunal). Kuatanya daya komunalitas ini tercermin dari masih eksisnya lembaga-lembaga yang bergerak dalam bidang kewanitaan, seperti PKK, Posyandu, benuk-bentuk arisan warga dan sejenisnya.

Kuatnya ikatan perempuan dalam pengurusan kelembagaan menjadi salah satu asset strategis yang harus dikembangkan dan ditingkatkan, sehingga dapat mengangkat peran perempuan dalam kehidupan bermasyarakat secara nyata. Realitas semacam ini akan lebih baik bila dikembangkan ke arah penguatan institusi di bidang perekonomian. Kegiatan institusi local di bidang ekonomi bagi kaum perempuan, di samping mempererat ikatan-ikatan mondial dan sosial, juga dapat meningkatkan produktivitas perempuan yang muaranya dapat menambah income (pendapatan) keluarga. Pada akhirnya kegiatan-kegiatan seperti ini dapat mempercepat pembangunan Nasional dan mengatasi krisis ekonomi yang dimulai dari sisi kehidupan yang paling mikro, yakni keluarga.

Terkait dengan signifikansi peran perempuan dalam pemberdayaan dan peningkatan pendapatan ekonomi keluarga, PKK mempunyai prioritas program berupa Usaha Peningkatan Pendapatan Keluarga (UP2K). UP2K ini dapat dijadikan sebagai basis implementasi pemberdayaan perempuan di tingkat praktis. Potensi, daya, dan karakter perempuan yang tidak kalah penting dan bobotnya dengan laki-laki dapat menjadikan program UP2K-PKK sebuah program unggulan dalam tataran program social safety net (jaring pengaman social), sebagai salah satu upaya menolong masyarakat dari keterpurukan ekonomi dengan jalan memberdayakan dan membangun masyarakat menjadi individu atau keluarga yang mandiri.[3]

Pada tataran ini, maka dapat diformulasikan bahwa program UP2K-PKK sebagai basis pemberdayaan perempuan merupakan upaya untuk memecahkan belenggu sosial budaya berupa konstruksi sosial yang telah menginternal pada perempuan, yaitu dengan cara langsung memberi peran ekonomi kepada kaum perempuan terutama pada lapisan masyarakat yang tidak mampu. Dengan demikian program UP2K-PKK akan menjadi sebuah suprastruktur yang efektif bagi kaum perempuan untuk memainkan peran dan membuktikan kualitas, kapasitas, dan kapabelitasnya 6+sebagai orang yang dapat berkiprah pada sector ekonomi khususnya dan sector-sektor kehidupan lain pada umumnya. Banyak hasil studi yang menunjukan bahwa investasi SDM perempuan menghasilkan returns yang lebih tinggi melalui peningkatan produktivitasnya.[4]

III ERA GLOBALISASI DAN PENGEMBANGAN UP2K-PKK

Zaman neoteknologi dari masa ke masa terutama pada masyarakat modern sekarang ini mengalami perkembangan yang cukup pesat. Terutama setelah ditemukannya teknologi komunikasi yang semakin canggih. Teknologi komunikasi dengan bantuan satelit dan komputer telah melahirkan era globalisasi. Era globalisasi yaitu suatu era (masa) di mana Dunia relatif semakin sempit karena komunikasi antar negara semakin cepat, juga menjadi semakin kompleks karena kemajuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) yang amat pesat dan berpengaruh dalam seluruh proses kehidupan manusia.[5]

Fenomena globalisasi ini pada Millenium ke-3 telah mampu merasuk pada semua dimensi kehidupan di berbagai belahan Dunia, terutama dalam bidang ekonomi dengan stressing point-nya pada permasalahan liberalisasi ekonomi atau free trade (perdagangan bebas). Satu tahun ke depan di tingkat regional kita akan dihadapkan dengan Asean Fee Trade Area (AFTA), sehingga membutuhkan antisipasi yang lebih kritis terhadap dampak yang akan ditimbulkannya.

Pada masa kini perkembangan lingkungan strategis cenderung multikompleks dan interdependensi (saling ketergantungan). Tidak ada satu kawasan atau negara pun yang dapat melakukan kegiatan ekonominya secara sendiri, tanpa mempunyai ketergantungan investasi, factor produksi, dan pasar dari kawasan/negara lainnya. Bergulirnya liberalisasi perdagangan semacam ini akan membawa peluang dan tantangan bagi produk-produk barang dan jasa Indonesia. Peluang ini dapat dimanfaatkan oleh keberadaan usaha kecil dalam bentuk usaha informal –termasuk di dalamnya UP2K-PKK--, untuk meningkatkan kualitas, kuantitas, dan kontinyutas produknya, sehingga dapat bersaing dengan produk-produk dari luar. Sebab kunci dari globalisasi adalah sebuah persaingan (competitiveness) secara bebas dan dapat memuaskan konsumen.[6]

Dalam kondisi percaturan global seperti ini dan badai krisis ekonomi yang belum berakhir menerpa bangsa Indoensia, maka peran UP2K-PKK yang tergolong pada usaha kecil sangat diharapkan eksistensinya. Hal ini disebabkan model UP2K-PKK akan mampu bertahan terhadap krisis ekonomi dan situasi liberalisasi perdagangan atau percaturan perekonomian global daripada perusahaan-perusahaan besar dan menengah, karena tidak tergantung pada pasar formal dan dana pinjaman yang sangat besar. Di samping itu, UP2K-PKK cenderung menghasilkan kebutuhan pokok (necessities) dan bukan barang mewah (luxuries).[7] Produk UP2K-PKK dapat dikonsumsi oleh semua kalangan masyarakat, sehingga tingkat perputaran modalnya akan sangat cepat yang sudah barang tentu akan mempercepat juga poses produksinya.

Oleh karena itu upaya pengembangan UP2K-PKK dalam era globalisasi harus ditekankan pada tiga hal. Pertama, mempertahankan dan meningkatkan kualitas produk. Produk yang dihasilkan harus benar-benar baik secara kualitatif dan dapat dibuktikan tingkat kualitatifnya. Karena pada era liberalisasi perdagangan ini, konsumen menuntut ketahanan kualitas sebuah produk yang diinginkannya, sebab semakin banyaknya alternatif yang dapat diperoleh oleh konsumen. Kedua, memacu kuantitas produk yang dihasilkan. Dalam hal ini tingkat produktivitas yang dipicu oleh factor efesiensi dan efektifitas harus dikedepankan. Dengan kunatitas hasil produksi yang tinggi, sangat dimungkinkan dapat mempengaruhi milieu pasar yang cenderung menginginkan banyak alternatif. Ketiga, menjaga kontinyuitas produk yang akan memantapkan kepercayaan pasar terhadap produk-produk yang dihasilkan. Kontinyuitas ini akan memberikan sebuah labelisasi terhadap UP2K sebagai salah satu jenis usaha yang mampu memberikan pelayanan (service) terhadap konsumen (customer) yang bersifat simultan.

Faktor penentu di era globalisasi dan liberalisasi perdagangan di samping kualitas daya saing, juga pemberian layanan yang baik (good service) terhadap konsumen. Dengan kemampuan meberikan pelayanan yang baik, maka secara tidak langsung merupakan asset advertising bagi para konsumen. Salah satu bentuk pelayanan yang baik itu dapat diwujudkan dengan ketahanan kontinyuitas produk UP2K-PKK. Maka mendorong UP2K-PKK untuk tetap survive dalam lini kegiatan ekonomi kerakyatan harus menjadi perhatian utama (primary attention) pihak pemerintah dan mendapatkan stimulan dari masyarakat sebagai pelaku utamanya.

IV STRATEGI PENGEMBANGAN DAN MODEL KEGIATAN UP2K-PKK

Perhatian pemerintah terhadap peningkatan kegiatan usaha kecil secara substansial sangat besar yakni dengan dikeluarkannya Inpres No.5 tahun 1993 tentang Peningkatan Penanggulangan Kemiskinan dan Inpres No.3 tahun 1996 tentang Pembangunan Keluarga Sejahtera[8]. Akan tetapi pada dataran praktis keberpihakan pemerintah cenderung terhadap usaha besar dan menengah. Walaupun demikian eksistensi usaha kecil masih tetap bertahan dan bahkan mengalami perkembangan terutama di sector informal, karena memiliki daya tahan dan kemampuan untuk menyesuaikan diri secara luwes terhadap perubahan lingkungan perekonomian dan kebijakan.[9]

Usaha kecil ini sering juga disebut sebagai kegiatan ekonomi kerakyatan, yang oleh Revrisond Baswir dimaknai sebagai suatu situasi perekonomian di mana berbagai kegiatan ekonomi diselenggarakan dengan melibatkan partisipasi semua anggota masyarkat, sementara penyelenggaraan kegiatan ekonomi itu pun berada di bawah pengendalian dan pengawasan anggota-anggota masyarakat.[10] Oleh karena itu, dalam upaya meningkatkan taraf hidup dan mengembangankan potensi rakyat, maka dibutuhkan pendekatan pembangunan yang berorientasi kerakyatan. Obsesi pemunculan gagasan pembangunan berorientasi kerakyatan adalah berupaya menggali potensi yang dimilikinya untuk dikembangkan, sehingga secara produktif dapat meningkatkan kualitas hidupnnya.

Mengingat urgensinya ekonomi kerakyatan (usaha kecil) dalam bingkai system perekonomian Nasional, maka dalam GBHN secara eksplisit disebutkan bahwa ekonomi kerakyatan sebagai salah satu pemain ekonomi akan menerima keuntungan yang sangat berarti.[11] Dengan demikian dalam rangka pembangunan yang berorientasi kerakyatan dan lebieh spesifik lagi mengembangkan usaha kecil, perlu menggali kekuatan-kekuatan yang ada di masyarakat serta mencermati kelemahan-kelemahannya, sehingga dapat ditemukan sebuah grand strategy yang dapat digunakan untuk menopang pengembangannya. Usaha kecil dimaksud, akan lebih efektif lagi bila lebih spesifik diarahkan pada program UP2K-PKK yang telah eksis baik secara institusional maupun manajerial.

4.1. Strategi Pengembangan UP2K-PKK

Untuk menjadikan UP2K-PKK sebagai program pengembangan usaha kecil yang memiliki keunggulan dan kekuatan dalam menghadapi liberalisasi perdagangan dan krisis ekonomi, paling tidak dibutuhkan 5 (lima) langkah startegi yang harus dijalankan. Kelima strategi dimaksud adalah sebagai berikut :

4.1.1. Peningkatan Kemandirian UP2K-PKK Melalui Pendampingan

UP2K-PKK sebagai lembaga local yang dimiliki oleh masyarakat setempat harus mampu mandiri dengan asas keswadayaan. Dalam hal ini seluruh komponen masyarakat sebagai anggota UP2K-PKK terlibat secara aktif dalam semua kegiatan yang diselenggarakan. Keterlibatan masyarakat dalam kegiatan akan menimbulkan sense of belonging dan sense of responsibility yang tinggi terhadap keberlangsungan kelembagaan. Namun demikian mengingat multikompleksnya permasalahan yang ada di tengah masyarakat dan pada dataran konsepsi manajerial kelembagaan masih lemah, maka dibutuhkan pendampingan terhadap institusi ini.

Sebagai langkah antisipatif dalam pelaksanaan program UP2K-PKK yang tergolong pada jenis kegiatan social safety net yang oleh pemerintah tengah digulirkan dan didukung pelaksanaannya, maka dalam hal ini pemerintah mempunyai kewajiban untuk memperhatikannya dalam sisi pembinaan institusi/kelembagaan, sehingga didaptkan pola yang tepat untuk pemberdayaan dan penguatan (empowering) lembaga UP2K-PKK melalui proses pendampingan. Pendamping mempunyai 3 (tiga) fungsi utama yaitu sebagai motivator, fasilitator, dan komunikator.

Pertama sebagai motivator, pendamping menumbuhkan motivasi para anggota untuk mendukung pelaksanaan kegiatan kelompok. Pendamping berperan aktif bersama anggota untuk menggali motivasi akan pentingnya membentuk kelompok untuk bersama-sama mengatasi persoalan kehidupan terutama masalah-masalah ekonomi.

Kedua sebagai fasilitator, pendamping memfasilitasi anggota kelompok agar memiliki keterampilan yang dipandang perlu untuk pengembangan kelompok. Di sini pendamping membantu penyusunan system adminstrasi dan manajerial kelompok dan kelembagaan PKK dengan simple administration system, juga dapat menghubungi lembaga yang kompeten untuk memberikan wawasan bagi peningkatan keterampilan teknis berusaha.

Ketiga sebagai komunikator, pendamping mencari informasi tentang jenis usaha apa yang dipandang memiliki prospek yang baik di masa kini dan akan datang. Selanjutnya pendamping mengusahakan net working dengan lembaga-lembaga perekonomian maupun pemerintah yang dapat membantu keperlangsungan program UP2K-PKK.

4.1.2. Memantapkan kelembagaan UP2K-PKK

Strategi ini ditujukan untuk mewujudkan kelembagaan UP2K-PKK sebagai lembaga yang direncanakan secara partisipatif dan mampu untuk eksis secara sustainability. Bentuk pemantapan kelembagaan ini mengambil coraknya yang sangat sederhana dengan meliputi pemenuhan asas kelembagaan dan pengembangan program-program ke depan. Untuk melakukan kedua hal tersebut diperlukan langkah-langkah berikut;

· Penyiapan pedoman kelambagaan UP2K-PKK yang akan dijadikan acuan untuk pelaksanaan program dan koridor keanggotaan UP2K-PKK, sehingga keberadaannya menjadi lebih jelas dan dapat dijadikan acuan untuk melakukan kerjasama dengan lembaga-lembaga yang meiliki concern terhadap pemberdayaan ekonomi kerakyatan atau peningkatan usaha kecil.

· Mengembangkan pola pembinaan kelembagaan melalui identifikasi potensi yang ada di masyarakat, peluang dan tantangan bagi program UP2K-PKK, merumuskan program pembinaan bagi anggota UP2K-PKK, dan mengadakan temu anggota yang teratur dan berkesinambungan sebagai media tukar informasi di anatar anggota.

· Evaluasi rutin terhadap pelaksanaan program UP2K-PKK yang diadakan oleh pengurus, sehingga didapatkan alternatif pemecahan masalah (problem solving alternative) yang dialami oleh anggota di tingkat pelaksanaan program.

4.1.3 Meningkatkan SDM

Keberhasilan dan kegagalan pengembangan usaha kecil ini pun ditentukan oleh tingkat SDM yang mengelola jenis kegiatan tertentu. Pilihan peningkatan SDM bagi pengembangan UP2K-PKK merupakan alternatif yang baik untuk dikedepankan, sehingga program yang dijalankan benar-benar dapat dikelola dengan baik dan mencapai sasaran yang diinginkan. Upaya yang dapat dilakukan untuk peningkatan SDM pengelola UP2K-PKK adalah sebagai berikut:

· Melalui pelatihan peningkatan skill atau keterampilan secara khusus dan paraktis, sehingga dapat diterima dan dilaksanakan oleh pengelola UP2K-PKK untuk mengembangkan jenis usaha yang digelutinya.

· Pengembangan lembaga incubator atau magang pada lembaga sejenis yang telah berhasil melakukan pengembangan usahanya, untuk mendapatkan gambaran tentang pola penanganan usaha yang baik.

· Melakukan studi banding pada lembaga sejenis untuk mendapatkan gambaran sisi positif tentang keberhasilan pengembangan usaha, dan sisi negatif tentang keterpurukan atau kebangkrutan yang dialami oleh pengelola lembaga itu.

4.1.4. Meningkatkan Permodalan

Permodalan atau investasi merupakan kunci utama (primary key) dalam upaya mempertahankan dan mengembangkan program UP2K-PKK. UP2K-PKK yang tergolong pada usaha kecil atau eknomi kerakyatan syarat dengan kebutuhan akan suntikan modal yang sesuai dengan jenis usahanya. Kurangnya investasi dalam pengembangan program UP2K-PKK akan mengakibatkan terjepitnya posisi usaha ini, terlebih dihadapkan pada era liberalisasi perdagangan yang gerbangnya sudah di depan mata. Dalam hal ini pemerintah harus melakukan redistribusi asset negara secara poporsional terutama untuk meningkatkan kemandirian ekonomi kerakyatan.[12]

Dengan kata lain, keberpihakan pemerintah terhadap pengembangan usaha kecil semacam UP2K-PKK harus direlalisasikan dalam benuk yang lebih riil. Upaya untuk mendapatkan permodalan atau investasi dapat dilakukan melalui beberapa cara, diantaranya adalah; Pertama, menyediakan dan menyebarkan informasi tentang potensi, peluang usaha, kelayakan usaha, dan lain-lain yang dapat merangsang minat si pemilik modal (investor) untuk memberikan atau menanamkan modalnya pada program UP2K-PKK. Kedua, adanya dukungan yang penuh dari pemerintah dalam bentuk penyaluran kredit (modal) bagi usaha kecil seperi program UP2K-PKK, dengan cara yang sederhana dan memudahkan untuk pengurusannya, dan ketiga, melakukan sosialisasi dan diseminasi terhadap pelaku bisnis tentang permodalan yang dijalankan dalam pelaksanaan program UP2K-PKK.

4.1.5. Kemitraan Usaha

Kemitraan usaha ini sesungguhnya telah dicanangkan oleh pemerintah sejak pelaksanaan Pelita III, yang dipandang sebagai salah satu strategi untuk mengangkat dan mengembangkan perekonomian rakyat. Pola kemitraan usaha ini diharapkan dapatnya terjadi sinergi antara perusahaan besar atau BUMN dengan usaha kecil, yang substansi kerjasamanya adalah saling menguntungkan kedua belah pihak.[13] Pada kemitraan usaha ini tidak dibenarkan adanya eksploitasi atau hegemoni ekonomi dari perusahaan besar terhadap jenis usaha kecil, yang ada adalah pola win-win solution antara pihak yang melakukan kemitraan. Di sini harus ditumbuhkan rasa kesadaran bahwa kedua belah pihak yang bermitra mempunyai kesejajaran dan derajat yang sama, serta memiliki kelemahan-kelemahan yang dapat ditutupi melalui saling mengisi terhadap kelemahan masing-masing.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kemitraan usaha merupakan salah satu bentuk upaya peningkatan peran usaha kecil semacam UP2K-PKK untuk dapat bertahan dan mengembangkan usahanya dalam iklim percaturan perekonomian Nasional dan tantangan liberalisasi perdagangan dunia. Strategi ini dalam tataran praktis akan memiliki makna yang cukup substansial, yakni menculnya tanggung jawab moral dari perusahaan besar untuk membimbing dan membina UP2K-PKK sebagai mitra usahanya. Pola kemitraan usaha ini pada akhirnya dapat mengembangkan UP2K-PKK untuk meningkatkan produktivitas, efesiensi dan efektifitas, jaminan kualitas, kuantitas, dan kontinyuitas, serta memperkecil risiko karena adanya risk sharing.

4.2. Model Kegiatan UP2K-PKK

Untuk menurunkan strategi pengembangan UP2K-PKK ke dalam bentuk operasional, agar dapat membumi, maka perlu dikembangkan model-model kegiatan yang applicable dan simple. Untuk menciptakan model kegiatan tersebut, harus memperhatikan kondisi lingkungan setempat –dalam hal ini lingkungan makro Dareah Khusus Ibukota (DKI Jakarta— sebagai standar dalam penentuan program UP2K-PKK. Mengesampingkan kondisi lingkungan strategis yang melingkupi pusat pelaksanaan UP2K-PKK dalam hal penyusunan program riil, berarti membuat program utopis tanpa mempunyai dasar pijak yang jelas. Karena lingkungan merupakan tempat muaranya kegiatan kehidupan manusia yang dapat menentukan pilihan-pilihannya tersendiri, sesuai dengan kebutuhan yang ada di tingkat masyarakatnya.

Berpijak dari urgensi lingkungan terhadap pengembangan dan peningkatan program UP2K-PKK, paling tidak ada 5 (lima) model-model kegiatan yang cocok dilaksanakan di DKI Jakarta. Kelima model kegiatan itu dapat dilihat dalam table berikut:

Tabel

Model Kegiatan UP2K-PKK

MODEL KEGIATAN

TUJUAN

METODE PENDEKATAN

JENIS KEGIATAN

Pengembangan Home Industri

Meningkatkan usaha kecil secara langsung di tingkat mikro, serta merangsang kaum perempuan dalam proses pelaksanaan program UP2K-PKK

· Bimbingan/pelatihan praktis

· Demo-plot di lapangan

· Studi banding

· Membuat net working utk pemasaran produk

· Pembuatan kue-kue dan minuman

· Penyediaan parsel

· Jahit menjahit

· Pengadaan catering

Usaha di bidang kerajinan

Mengoptimalkan potensi masyarakat dalam hal SDM dan ketersediaan bahan baku di lingkungan setempat.

· Bimbingan/pelatihan praktis

· Demo-plot di lapangan

· Studi banding

· Membuat net working utk pemasaran produk

· Pengembangan model, melalui pengkajian di tingkat lapangan

· Kerajinan kayu

· Pembuatan jok mobil atau kursi meubeler.

· Pembuatan kemoceng plastik dan sejenisnya

· Pembuatan pot tanaman

Usaha di bidang jasa

Memberi kesempatan kepada masyarakat untuk berusaha di bidang jasa yang dapat dilakukan secara tekun dan simultan

· Bimbingan/pelatihan praktis

· Demo-plot di lapangan

· Studi banding

· Magang di tempat yang sudah mapan

· Membuat net working utk pemasaran produk

· Salon kecantikan

· Penyediaan alat-alat pesta

· Jasa boga

· Kursus mengemudi dan pengadaan SIM

· Kursus komputer dan bahasa, serta bimbingan belajar.

· Dagang atau pembuatan warung yang memberi layanan kebutuhan sehari-hari

· Penyediaan Wartel

Usaha di bidang budidaya

Mengembangkan dan meningkatkan potensi budi-daya di masyarakat DKI Jakarta, sehingga menghasilkan produktivitas tinggi untuk peningkatan ekonomi keluarga.

· Bimbingan/pelatihan praktis

· Demo-plot di lapangan

· Studi banding

· Magang di tempat yang sudah mapan

· Membuat net working utk pemasaran produk

· Budidaya ikan hias

· Budidaya kerang laut

· Pembuatan ikan asin

· Budidaya tanaman

· Pengolahan limbah industri

Usaha di bidang simpan-pinjam (perkreditan)

Menjadikan UP2K-PKK sebagai lembaga yang ber-gerk di bidang keuangan, yang diharapkan dapat menumbuhkan sikap hidup hemat dan membantu permodalan pada usaha kecil.

· Bimbingan/pelatihan di bidang administrasi dan manajemen

· Studi banding

· Magang di tempat yang sudah mapan

· Penguatan kelembagaan

· Pembentukan kelompok-kelompok usaha

· Membuat lembaga Unit Pengelola Keuangan (UPK) yang bertugas untuk memberikan kredit bagi pengembangan usaha kecil di berbagai bidang

· Membuat lembaga perkoperasian

· Pembentukan Waserda sebagai pusat grosir untuk mendukung warung sekitar.

· Menggalakan kegiatan arisan di tingkat komunitas.

V. PROSPEK KEGITAN UP2K-PKK DI DKI JAKARTA

Program UP2K-PKK memiliki lingkup dan jenis usaha untuk pemenuhan kebutuhan mayoritas warga masyarakat terutama warga DKI Jakarta, sudah barang tentu mempunyai nilai positif untuk dikembangkan. UP2K-PKK tergolong pada jenis usaha kecil atau ekonomi kerakyatan yang memiliki ciri-ciri pokok bersifat tradisional, skala usaha kecil, dan pemenuhan kebutuhan pokok (necessities).

Model usaha seperti ini akan mampu bertahan dan merupakan sebuah potensi ekonomi yang dapat dikembangkan dalam kegiatan ekonomi global, karena di samping secara kuantitas merupakan kegiatan usaha mayoritas masyarakat[14] juga secara riil dapat memberikan konstribusi positif terhadap negara, seperti Asosiasi Pengusaha Wartel Indonesia (APWI) –yang tergolong jenis usaha kecil-- bisa menyumbangkan pajak sebesar 700 milyar rupiah pertahun.[15] Di samping itu model program UP2K-PKK tidak tergantung (independen) pada arus modal besar dan dapat dengan mudah beradaptasi dengan kondisi lingkungan strategis yang mengelilinginya.

Terlebih bila di lihat dari kondisi universal kehidupan Kota Jakarta yang memiliki potensi besar untuk dapat mengembangkan semua jenis usaha. Dari mulai jenis usaha rendah seperti pengumpul barang-barang bekas sampai jenis usaha yang tergolong berat yang hanya orang-orang tertentu saja dapat mengerjakannya, bahkan usaha di bidang jasa pun mendapat porsi yang signifikan untuk dikembangkan. Keadaan semacam ini yang dapat mendorong program UP2K-PKK menjadi kondusif, sehingga bisa berkembang, meningkat, dan pada akhirnya memiliki daya saing untuk meningkatkan kualitas, kuantitas, dan kontinyuitas.

Oleh karena itu prospek pengembangan program UP2K-PKK ke depan di Ibukota Jakarta dan kota-kota lainnya sangat cerah dan memberikan harapan untuk meningkatkan penghasilan keluarga. Dengan demikian, program UP2K-PKK harus sedini mungkin disosialisasikan baik secara vertical maupun horizontal agar dapat dipahami dan diapresiasi dengan baik, sehingga UP2K-PKK mendapat perhatian secara proporsional dari berbagai pihak yang mempunyai concern terhadap pengembangan usaha kecil. Terlebih pada program UP2K-PKK pelibatan kaum perempuan diprioritaskan, sehingga akan dapat memberikan warna tersendiri dalam pengembangan ekonomi kerakyatan yang saat ini oleh pemerintah diberikan perhatian utama.

VI. PENUTUP

Upaya pemberdayaan dan peningkatan usaha kecil atau sector ekonomi kerakyatan melalui pendekatan program UP2K-PKK merupakan salah satu alternatif strategis untuk menopang perekonomian Nasional. Terlebih dalam program ini muatan peran perempuan sangat signifikan yang selama ini mayoritasnya termarjinalisasi dalam sector kehidupan sosial dan ekonomi. Sinergitas kaum perempuan dalam sector sosial dan ekonomi, pada akhirnya akan mampu menciptakan dinamisasi dan iklim kondusif dalam kerangka pemberdayaan usaha kecil.

Melihat tantangan ke depan terutama adanya liberalisasi perdagangan, maka diperlukan strategi dan model kegiatan UP2K-PKK yang tepat agar program ini dapat membumi. Strategi dimaksud meliputi 5 (lima) langkah pokok, yaitu peningkatan kemandirian melalui pendampingan, memantapkan kelembagaan, meningkatkan SDM, meningkatkan permodalan, dan kemitraan usaha. Strategi pengembangan UP2K-PKK ini tentunya harus ditopang oleh model kegiatan yang tepat untuk dilaksanakan. Hal ini tentunya harus mempertimbangkan factor kondisi lingkungan kehidupan secara universal Ibukota Jakarta, agar program yang dilaksanakan dapat dikonsumsi oleh masyarakat setempat. Namun demikian program UP2K-PKK yang akan dilaksanakan paling tidak harus mengacu pada dua karakteristik utama, yaitu berskala usaha kecil dan bersifat pemenuhan kebutuhan pokok (necessities) masyarakat atau lingkungan setempat.

Melihat kegiatan sector informal di lingkungan Ibukota Jakarta yang sangat kompleks dan bersifat multidimensional, maka prospek pengembangan program UP2K-PKK di Ibukota Jakarta sangat cerah dan memungkinkan diangkat menjadi komoditas unggulan di sector ekonomi perkotaan. Oleh karena itu, selogyanya pemerintah memperhatikan dan mengapresiasi program UP2K-PKK ini dengan memberikan stimulan dan mengayominya. Juga di sisi lain warga masyarakat memberikan dukungan penuh berupa partisipasi aktif untuk pengembangan program ini ke depan.Tentunya hal ini dapat dicapai bila diadakan sosialisasi tentang program UP2K-PKK baik pada dataran vertical maupun horizontal, sehingga semua steckholder yang terkait dengan program ini dapat mengetahuinya dengan jelas dan tarnsparan.

DAFTAR ISI

Ginandjar Kartasasmita, “Pembangunan Untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan”, Jakarta : Pustaka Cidesindo, 1996

H.A.R. Tilaar, “Pengembangan Sumber Daya Manusia dalam Era Globalisasi”, Jakarta: Gramedia, 1997

Yulfira Raharjo dan Ingrid Kolb-Hindarmanto, ”Social Safety Net Pengembangan, Konsep, dan Aplikasinya, Jakarta : Sabena Utama, 1998

Marwah Daud Ibrahim, “Teknologi Emansipasi dan Transendensi”, Bandung : Mizan, 1995

Fuad Amsyari, “Islam Kaafah, Tantangan Sosial dan Aplikasinya di Indonesia”, Surabaya : Bina Ilmu, 1995

Mohammad Jafar Hafsah, “Kemitraan Usaha Konsepsi dan Strategi”, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1999

Chris Maning dan Peter Van Diermen (ed.), “Indonesia di Tengah Transisi Aspek-Aspek Sosial Reformasi dan Krisis”, Yogyakarta: LkiS, 2000

Ferry D Latief, “Strategi Pengembangan Kelembagaan Kelompok Usaha Kecil-Mikro”, Makalah pada acara Lokakarya Regional Pengembangan Usaha Kecil-Mikro dalam P2KP, Bandung : KMP P2KP Regional Jawa Barat – DKI, 4 Juli 2001



[1] Dalam buku “Pembangunan Untuk Rakyat”, disebutkan bahwa peran wanita yang berwawasan jender dalam peningkatan penanggulangan kemiskinan adalah pelibatan secara maksimal peran aktif kaum wanita dalam upaya meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat, baik secara langsung maupun tidak langsung, dalam rangka mempercepat pemerataan pembangunandan hasil-hasilnya, tanpa harus meninggalkan peran kodrati kewanitaannya, serta sesuai dengan kondisi sosial budaya masyarakat setempat. Ginandjar Kartasasmita, “Pembangunan Untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan”, Jakarta : Pustaka Cidesindo, 1996, h. 209

[2] H.A.R. Tilaar, “Pengembangan Sumber Daya Manusia dalam Era Globalisasi”, Jakarta : Gramedia, 1997, h. 214 - 217

[3] Yulfira Raharjo dan Ingrid Kolb-Hindarmanto, ”Social Safety Net Pengembangan, Konsep, dan Aplikasinya, Jakarta : Sabena Utama, 1998, h. 6

[4] Ginandjar Kartasasmita, Op. Cit., h. 201

[5] Marwah Daud Ibrahim, “Teknologi Emansipasi dan Transendensi”, Bandung : Mizan, 1995, h.28 dan 78. Juga dapat dilihat pada Fuad Amsyari, “Islam Kaafah, Tantangan Sosial dan Aplikasinya di Indonesia”, Surabaya : Bina Ilmu, 1995, h. 231

[6] Mohammad Jafar Hafsah, “Kemitraan Usaha Konsepsi dan Strategi”, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1999Kemitraan Usaha, h. 156-159

[7] Chris Maning dan Peter Van Diermen (ed.), “Indonesia di Tengah Transisi Aspek-Aspek Sosial Reformasi dan Krisis”, Yogyakarta: LkiS, 2000, h. 229

[8] H.A.R. Tilaar, Op. Cit., h. 107

[9] Chris Maning dan Peter Van Diermen (ed.), Op. Cit., h. 226-230

[10] Mohammad Jafar Hafsah, Op. Cit., h. 31

[11] Dalam GBHN alenia pertama bidang ekonomi disebutkan, “mengembangkan system ekonomi kerakyatan yang bertumpu pada mekanisme pasar yang berkeadilan, dengan prinsip persaingan sehat dan memperhatikan pertumbuhan ekonomi, nilai-nilai keadilan, kepentingan sosial, kualitas hidup, pembangunan berwawasan lingkungan, dan keberlanjutan, sehingga terjamin kesempatan yang sama dalam berusaha dan bekerja, perlindungan hak-hak konsumen serta perlakuan yang adil bagi seluruh masyarakat”. Ferry D Latief, “Strategi Pengembangan Kelembagaan Kelompok Usaha Kecil-Mikro”, Makalah pada acara Lokakarya Regional Pengembangan Usaha Kecil-Mikro dalam P2KP, Bandung : KMP P2KP Regional Jawa Barat – DKI, 4 Juli 2001, 2.

[12] Chris Maning dan Peter Van Diermen (ed.), Op. Cit., h. 159-160

[13] Mohammad Jafar Hafsah, Op. Cit., h. 64

[14] Dalam buku “Kemitraan Usaha Konsepsi dan Strateg”i dijelaskan bahwa jumlah usaha kecil dan koperasi di Indonesia diperkirakan lebih dari 38 juta pengusaha atau 99,8%. Mohammad Jafar Hafsah, Ibid., h. 36. Ini merupakan jumlah yang sangat fantastis dan sangat perlu mendapat dukungan atau perhatian prioritas dari pemerintah, ketimbang hanya memikirkan segelintir perusahaan --dalam hal ini salah satunya adalah perbankan-- yang hanya dinikmati oleh orang-orang tertentu saja.

[15] Harian Umum Media Indonesia, Rabu, 22 Mei 2002, h. 24