WELCOME IN SONHAJI'S SPOT

04/02/09

Harian Media Indonesia

Kepada Redaktur

Harian Media Indonesia

di

Jakarta

Saya kirimkan tulisan berjudul KNPI Versus PPI sebagai tanggapan atas Opini Pembaca dengan judul PPI dan Paranoia Politik. Dengan harapan dapat dimuat dalam rubrik FORUM di harian ini. Adapun data pribadi saya dapat dilihat di bawah ini:

Nama : SON HAJI UJAJI

Jabatan : Ketua Umum DPP GEMA Mathla’ul Anwar

Alamat : Komplek Harperindo Blok AA1/D-21, RT.01/10, Cempaka Putih – Ciputat.

Telepon : 0818669740

Demikian saya sampaikan, atas perhatiannya diucapkan terima kasih.

Jakarta, 28 Juli 2007.

Hormat Saya,

Ttd

SON HAJI UJAJI

KNPI VERSUS PPI

Di harian ini pada hari sabtu tanggal 28 Juli 2007 di rubric FORUM tentang Opini Pembaca dimuat tulisan yang bertema PPI dan Paranoia Politik oleh saudara Akhmadsyah. Dia beranggapan bahwa kehadiran Partai Pemuda Indonesia (PPI) menjadi paranoia (ketakutan yang berlabihan) politik bagi Organisasi Kemasyarakatan Pemuda (OKP) dan sebagian partai politik yang ada, karena PPI akan mengurangi pemilih pemuda bagi partai-partai yang ada secara signifikan. Argumentasi dia didasarkan atas ketidakterwakilannya pemuda dalam memperjuangkan hak-haknya di ranah DPR dan DPD RI.

Bagi OKP yang berhimpun di KNPI yang sampai kongres ke XI sudah mencapai 61 OKP, kehadiran partai politik baru dengan menggunakan penamaan apapun bahkan mengambil ”label pemuda” tidak menjadi persoalan dan dipesilahkan kepada siapa saja yang ingin mendirikan dengan tujuan mengambil simpati dari kalangan pemuda Indonesia. Namun yang harus menjadi catatan utama adalah jangan menjadikan lembaga KNPI sebagai sandaran dan lahan garapan bagi sebuah partai politik.

KNPI sebagai sebuah lembaga tempat bernaungnya OKP mutlak memiliki asas independen (tidak memihak). Independen dalam bidang politik ini dapat diartikulasikan bahwa KNPI sebagai wadah berhimpunnya kekuatan Pemuda Indonesia tidak diperbolehkan memihak pada salah satu kekuatan politik tertentu. Karena OKP yang berhimpun di KNPI terdiri dari berbagai unsur kepemudaan, baik dari unsur pemuda keagamaan, pemuda nasionalis, mahasiswa, pemuda profesi bahkan pemuda partai politik. Jadi KNPI sebagai wadah berhimpun ini yang notabene ”pemilih sahamnya” adalah OKP-OKP yang berhimpun harus bisa menjaga netralitas dan iklim kondusifitas di kalangan kepemudaan, khusunya bagi OKP-OKP yang berhimpun di dalamnya.

Mari kita lihat lahirnya PPI (Partai Pemuda Indonesia) yang beberapa bulan lalu dideklarasikan dengan Ketua Umumnya adalah Ketua Umum DPP KNPI sendiri yakni saudara Hasanudin Yusuf. Dalam sturktur kepengurusan PPI sebagian besar didominasi oleh unsur pengurus harian KNPI dengan Sekretaris Jenderalnya adalah Ketua DPD KNPI Papua. Juga dalam setiap kali kunjungan ke DPD-DPD (daerah-darah), disinyalir adanya ajakan pembentukan DPD PPI di mana DPD KNPI berada. Namun ajakan dari oknum-oknum DPP KNPI pada DPD-DPD, tidak mendapatkan respon yang positif.

Hal ini menjadi realitas yang objektif, di mana seorang Ketua Umum KNPI yang merangkap menjadi Ketua Umum PPI ibarat dua sisi mata uang, artinya perannya tidak bisa dipisahkan dari dua lembaga yang dipimpinnya. Secara jujur harus kita akui, hal ini akan membawa kerancuan terhadap pemaknaan independensi KNPI dan akan menodai netralitas KNPI sebagai wadah berhimpunnya setiap elemen kepemudaan. maka sangat wajar, bila kemudian OKP-OKP yang berhimpun di KNPI yang pada awal Juli lalu melakukan pertemuan di JDC-Jakarta dengan dihadiri oleh 40 OKP, melakukan kritik terhadap kinerja DPP KNPI saat ini yang tidak produktif terlebih adanya pendirian PPI oleh Ketua Umum KNPI, dengan melahirkan mosi tidak percaya dan sesegera mungkin saudara Ketua Umum KNPI bisa mengundurkan diri dan lebih berkonsentrasi mengurusi partianya yaitu PPI.

OKP sebagai ”pemilik saham” KNPI tidak mau lembaga KNPI ditumpangi oleh kepentingan orang per orang sebagai fungsonaris KNPI demi sebuah ambisi kekuasaan. Bila ini terjadi (seperti lahirnya PPI yang dibidani oleh KNPI), maka itu sama dengan terjadinya pengangkangan terhadap eksistensi OKP yang berhimpun di KNPI. Dan bila dilihat lebih jauh, adanya semangat PPI untuk menyuarakan kepentingan pemuda dengan mendirikan partai politik, ini artinya sama dengan membuat perangkap kepemudaan yang dengan sendirinya akan mengkerdilkan peran pemuda dalam bingkai kehidupan berbangsa dan bernegara.

OKP-OKP yang berhimpun di KNPI sedikit pun tidak bersikap paranoia atas dideklarasikannya PPI. Siapa pun warga negara berhak menyatakan pendapat dan diberi kebebasan untuk berserikat dan berkumpul, itu sudah menjadi konsensus bangsa ini yang tertuang dalam UUD RI. Bahkan OKP-OKP mendorong agar saudara Hasanudin Yusuf lebih berkonsentrasi untuk mengurusi PPI sebagai perwujudan haknya sebagai warga negara.

Dan untuk menjaga netralitas sebagai Ketua Umum KNPI dan Ketua Umum PPI, tidak ada pilihan kecuali yang bersangkutan mengundurkan diri sebagai Ketua Umum DPP KNPI. Karena mengurus partai politik itu tidak mudah, terlebih menghadapi verifikasi partai baru agar bisa berkompetisi pada Pemilu 2009, apalagi PPI adalah sebuah partai baru yang harus melakukan kerja ekstra untuk melakukan konsolidasi partai ke daerah-daerah. Dalam hal ini Hasanudin tentunya akan lebih berkonsentari pada PPI ketimbang ngurus KNPI. Biarkan KNPI sebagai lembaga tempat mewadahi kepentingan pemuda dari berbagai elemen kepemudaan, tatap bisa menjaga independensi dan netralitasnya.

Dalam hal pendirian PPI, mungkin akan timbul pertanyaan, bukannya para Ketua Umum KNPI dulu juga berpartai? Tentu jawabannya adalah iya. Namun ada dua hal yang membedakannya yaitu, petama Ketua Umum KNPI dulu walaupun berpartai tetapi mereka bukan sebagai Ketua Umum Partai Politik Kedua, Ketua Umum KNPI dulu, mereka berpartai sebelum mereka dipilih sebagai Ketua Umum KNPI, namun yang terjadi pada Ketua Umum KNPI sekarang adalah memang sebelum dipilih dia adalah sebagai kader PDIP, tapi setelah dipilih (menjadi Ketua Umum KNPI) dia mendirikan PPI dan sekaligus sebagai Ketua Umumnya. Ini adalah sebuah fakta yang sangat ironis dan bila OKP yang berhimpun di KNPI membiarkan hal ini terjadi, sama artinya membiarkan adanya sebuah proses pembodohan dan subordinasi.

Mudah-mudahan opini ini dapat menjadi sebuah pandangan yang positif bagi Pemuda Indonesia, khususnya bagi saudara Akhmadsyah yang mempertanyakan kegusaran pemuda dengan bahasanya paranoia. Perlu menjadi catatan utama kita bahwa pemuda sebagai sebuah kekuatan moral (moral force) mutlak dituntut berperan aktif dalam mengisi pembangunan bangsa ini, terutama dalam hal pembangunan demokrasi.

Peran pemuda untuk menyuarakan kepentingan pemuda dan kepentingan bangsa yang lebih besar, tidak harus dikotakkan dalam sebauah kelembagaan partai politik. Dalam hal ini sejarah telah membuktikan gerakan pemuda mulai dari tahun 1928 dengan Sumpah Pemuda, 1945 Proklamsai Kemerdekaan RI, 1966 Lahirnya Orde Baru, dan 1998 Lahirnya Orde Reformasi, telah dapat melahirkan kehidupan bangsa yang lebih baik, tanpa harus dikotakkan dalam sebuah wadah atas nama partai politik.

Adapun adanya keinginan peran pemuda lebih kongkrit dalam kehidupan bangsa ini, bisa dilakukan dengan meminta kuota pemuda lebih besar dalam agenda politik yang akan datang. Misalnya hal ini dapat didialogkan antara elemen kepemudaan dengan lembaga eksekutif dan legislatif agar kuota pemuda dimasukan ke dalam RUU Politik yang saat ini tengah digodok di DPR. Jadi, peningkatan peran pemuda dalam agenda politik, tidak harus pemuda ikut latah membentuk partai politik, tapi ada yang lebih elegant dari itu yang mana kepentingan pemuda dapat tersalurkan dan keberadaan pemuda dapat diperhitungkan dengan kualitas individunya, bukan pengkerdilan pemuda atas nama partai politik dengan label pemuda.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar