WELCOME IN SONHAJI'S SPOT

04/02/09

REDIFINISI MAKNA PEMBANGUNAN DI BANTEN

Kepada Yang Terhormat,

Pemimpin Redaksi

Harian Banten

di

Banten

Berikut saya kirimkan sebuah tulisan saya dengan tema “Redifinisi Makna Pembangunan di Banten” untuk Rubrik Opini di Harian Banten

Demikian, atas perhatiannya saya ucapkan terima kasih.

Jakarta, 10 Juni 2002

Hormat saya,

Son Haji Ujaji

Catatan :

Biodata Singkat

Nama : Son Haji Ujaji

Alamat : Jalan Semanggi II No.20, RT.04/03, Cempaka Putih – Ciputat

Pendidikan : saat ini masih menempuh S2 di Universitas Muhammadiyah Jakarta, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik

Organisasi : Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Generasi Muda Mathla’ul Anwar (GEMA-MA)

REDIFINISI MAKNA PEMBANGUNAN DI BANTEN

Oleh : Son Haji Ujaji§

Pembangunan merupakan sebuah kata yang sering diungkapkan, didiskusikan, bahkan menjadi sebuah diskursus dalam pengembangan sebuah wacana untuk kemajuan sebuah locality tertentu. Akhir-akhir ini istiah pembangunan mencuat kembali ke permukaan seiring dengan telah hadirnya era otonomi daerah. Otonomi daerah sering dipahami sebagai kebebasan daerah untuk dapat mengekspresikan makna pembangunan sesuai dengan keinginan daerah, terlebih fenomena ini menjadi sebuah “menara gading” bagi daerah-daerah yang baru terbentuk.

Antusiasme pemerintah daerah dalam mengimplementasikan semangat otonomi –yang dalam system pemerintahan Indonesia bukan merupakan barang yang baru— harus dilandasi oleh pemikiran rasional dan fakta-fakta actual dalam system kehidupan nasional. Munculnya otonomi bagi daerah untuk mengelola Sumber Daya Manusia (SDM) dan Sumber Daya Alam (SDA) yang dimiliki daerah dengan lahirnya UU No. 22 tahun 1999 serta dibarengi dengan Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah, harus dipahami sebagai buah dari reformasi yang pada awalnya didorong oleh beberapa elemen mahasiswa dengan moral force movement-nya. Oleh karennya pelaksanaan otonomi daerah harus selalu digandengankan dengan semangat reformasi yang memiliki tujuan yang jelas, yaitu memperbaiki system pemerintahan (good governance) dengan prinsip transparansi, akuntabiliti, dan responsibiliti, dengan sebuah gerakan anti Korupsi, Kolusi dan Nopotisme (KKN).

Lalu bagaimana dengan Pemerintahan Propinsi Banten, apakah makna pembangunan dalam era otonomi daerah telah dijalankan sesuai dengan semangat reformasi yang menjadi background kehadirannya? Ataukah terdapat deviasi pemaknaan pembangunan, sehingga perjalanan Pemerintahan Propinsi Banten tidak dapat mengakomodasi kebutuhan dasar (basic needs) masyarakat Banten, terlebih untuk mengadovsi dan menjalankan amanat reformasi. Pertanyaan semacam ini pada dasarnya telah menginternal pada jiwa masyarakat Banten sendiri yang tengah merindukan adanya perubahan fundamental terhadap nasib hidup mereka, ketika daerah Banten dinyatakan sebagai sebuah propinsi.

Jangan Terjebak Paradigma Lama

Lahirnya Propinsi Banten tentunya didorong oleh keinginan seluruh masyarakat Banten untuk memperbaiki kualitas kehidupannya. Karena Banten yang merupakan buffer zone (daerah penyangga) Ibukota dan bahkan telah tumbuh sebagai daerah kosmopolitan dengan hadirnya ratusan industri besar serta beberapa mega proyek yang menelan investasi triliyunan rupiah, secara realitas masih masuk dalam kategori daerah tertinggal. Ketertinggalan Banten ini dikarenakan jauhnya jarak dari Ibukota Propinsi (Bandung), sehingga pembangunan di Wilayah Banten menjadi “dianaktirikan”. Karakter pembangunan semacam ini, mengambil istilah Andre Gunder Frank masuk dalam kategori hegemoni kekuasaan metropolis atas daerah-daerah satelitnya dengan membangun pusat-pusat pertumbuhan di daerah satelitnya, untuk mengambil surplus ekonomi. Dalam bahasa yang lebih fulgar pendekatan pembangunan model metropolis-satelit merupakan sebuah ekspansi atau penjajahan yang terselubung.

Model pembangunan seperti di atas, dalam struktur pemerintahan otonomi daerah saat ini sulit untuk mendapat tempat, kerena secara struktural antara Propinsi dengan Kabupaten atau Kota mempunyai kedudukan yang sama. Hubungan antara Propinsi dengan Kabupaten atau Kota hanya bersifat koordinatif. Namun demikian yang perlu mendapat perhatian utama adalah kemandirian Kabupaten atau Kota jangan lagi menciptakan system satelit-metropolis. Di samping itu paradigma pembangunan harus mengacu pada paradigma baru yang oleh para aktor pembangunan sering tidak dipahami secara proporsional.

Banten merupakan sebuah propinsi baru yang secara alamiyah kaya akan SDA yang oleh banyak pakar lingkungan sering dikatakan sebuah “daerah yang masih perawan”, harus dioptimalisasikan eksploitasi dan pengembangannya dengan memperhatikan dampak lingkungan setempat, sehingga hasilnya dapat dirasakan oleh seluruh masyarakat Banten. Adanya sumber-sumber potensial yang dapat memberikan pemasukan terhadap Pemerintah Banten jangan melulu dijadikan sebagai pemupukan kekayaan pemerintah dengan dalih pertumbuhan ekonomi. Pengejaran terhadap pertumbuhan ekonomi hanya menjadi sebuah symbol sloganistik yang lebih mengedepankan popularitas pemerintah, ketimbang kesejahteraan masyarakat.

Pendekatan seperti ini dalam evolusi makna pembangunan dikenal dengan strategi pertumbuhan ekonomi yang banyak dianut negara-negara Eropa, dengan pemikir-pemikirnya seperti Arthur Lewis, WW Rostow, Hirschman, dan lain-lain. Arthur Lewis dalam bukunya The Theory of Economic Growth menjelaskan bahwa pada dasawarsa 1950-an, pembangunan diidentikan dengan pertumbuhan di bidang ekonomi. Paham developmentalisme gaya Eropa diindikasikan dengan naiknya masyarakat borjuis sebagai kelas ekonomi dominan yang diidentikkan dengan keberhasilan pembangunan, dengan demikian “pertumbuhan” dijadikan sebagai ide bagi perkembangan masyarakat.

Dalam pendekatan pertumbuhan orientsi pembangunan melulu mengedapankan peningkatan pendapatan perkapita. Dengan meningkatnya pendapatan perkapita diharapkan dapat mengatasi masalah-masalah seperti pengangguran, kemiskinan, dan ketimpangan distribusi pendapatan, melalui apa yang dikenal dengan trickle down effect (dampak meretas ke bawah). Dalam hal ini disinyalir bahwa keberhasilan pembangunan dilihat dari sisi akumulasi pendapatan penduduk per kapita.

Akumulasi pendapatan penduduk ternyata tidak mencerminkan tingkat kesejahteraan. Bahkan dalam dataran praktis telah dapat minimbulkan gap (kesenjangan) distribusi pendapatan antara kelas elite dengan masyarakat biasa. Kesenjangan pendapatan ini pada akhirnya menjadi pemicu ketidakadilan sosial dalam semua dimensi kehidupan. Oleh karena itu pendekatan pertumbuhan yang dikenal dengan paradigma pembangunan tradisional (klasik) kemudian ditinggalkan, dengan lebih memperhatikan terhadap kualitas dari proses pembangunan itu sendiri. Maka pada tahun 1970-an dikembangkan model pembangunan yang mengupayakan mewujudkan memberantas kemiskinan, pengangguran dan mengatasi ketimpangan sosial.

Dalam konteks ini Dudley Seers (1973) melakukan redifinisi pembangunan dalam konteks tujuan sosial. Akumulasi paradigma pembangunan akhirnya dapat memunculkan paradigma baru dalam pembangunan yang lebih mengedepankan pertumbuhan dengan distribusi, kebutuhan pokok (basic needs), pembangunan mandiri (self-reliant development), pembangunan berkelanjutan dengan memperhatikan terhadap alam (ecodevelopment), dan pembangunan yang memperhatikan ketimpangan pendapatan menurut etnis (ethnodevelopment). Dengan demikian, paradigma pembangunan baru dapat dikatakan lebih menitikberakan pada dimensi pemerataan ketimbang pertumbuhan.

Dengan memperhatikan perkembangan strategi pembangunan, dapat dijadikan acuan oleh pemerintah di Propinsi Banten dan jajarannya untuk tidak terjebak pada paradigma lama. Ketika paradigma pertumbuhan dihidupkan kembali oleh pemerintahan di Banten, maka yang akan terjadi hanyalah penumpukan kekayaan pada lingkaran tertentu, sehingga essensi dari lahirnya Propinsi Banten menjadi terabaikan yaitu mewujudkan kesejahteraan masyarakat dalam konteks pembagian “kue” pembangunan secara berkeadilan. Bila hal ini terjadi, apalah bedanya antara Banten yang dulu sebelum propinsi dengan sekarang setelah jadi propinsi. Tentu harapnnya adalah terjadi perubahan pembangunan fundamental dan signifikan yang dapat dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat Banten.

Mengusung Amanat Reformasi

Di sisi lain, harus disadari bahwa lahirnya Propinsi Banten dibarengi dengan semangat reformasi yang tengah menggelinding di pentas kehidupan nasional. Oleh karena itu, semangat reformasi harus menjadi dasar pijakan untuk menjalankan roda pemerintahan di Propinsi Banten. Reformasi bukan sekadar menjadi sebuah slogan untuk melahirkan sebuah propinsi, akan tetapi harus diusung dalam bingkai kehidupan pemerintahan yang ideal, yaitu melahirkan pemerintahan yang baik (good governance) dengan focus utama pemberantasan KKN dan penegakkan supermasi hukum.

Hadirnya Propinsi Banten jangan dijadikan ajang perebutan “kue pembangunan” oleh masyarakat atau tokoh masyarakat setempat dengan dalih apapun, terlebih alih-alih sebagai pelopor pejuang pendiri Propinsi Banten. Tanpa dukungan luas seluruh rakyat Banten, sebuah Propinsi Banten tidak akan pernah terwujud. Dengan demikian, hadirnya Propinsi Banten harus disadari sebagai sebuah refleksi dari akumulasi keinginan seluruh rakyat Banten untuk menciptakan peningkatan kualitas kehidupan dalam system pemerintahan daerah yang mandiri.

Dalam kaitan ini, maka pelaksanaan pembangunan di Propinsi Banten perlu mengacu pada prinsip good governance. Sebagai propinsi yang baru terbentuk dengan didasari keinginan seluruh lapisan masyarakat di Banten untuk menciptakan pemerintahan daerah yang mandiri, konsekwensi logisnya segala kebijakan dan program-program yang akan dilaksanakan oleh pemerintah setempat harus transparan (terbuka), akuntabilitas (baik pengelolaan keuangannya), dan responsibilitas (dapat dipertanggung-jawabkan) kepada seluruh warga masyarakat. Sehingga tidak ada lagi issue-issue negatif tentang pelaksanaan pembangunan di Propinsi Banten, seperti pola rekruitmentasi Pegawai Negeri di Propinsi Banten yang syarat dengan KKN, dan pengelolaan proyek-proyek pembangunan yang hanya dikuasai oleh kelompok tertentu dengan mengatasnamakan organisasi profesi sebagai pengelola kegiatan perekonomian di wilayah Propinsi Banten. Fenomena semacam ini justeru menjadi ironis dengan amanat reformasi.

Sesungguhnya Pemerintahan Propinsi Banten mempunyai hak untuk melakukan peninjauan terhadap organisasi-organisasi yang ada di wilayahnya, baik menyangkut organisasi profesi ataupun organisasi kemasyarakatan lainnya. Bila organisasi-organisasi tersebut kedapatan menyimpang dalam melaksanakan tugasnya yang merugikan bukan saja pada sisi pelaksanaan pembangunan akan tetapi membuat ketimpangan distribusi pendapatan kepada seluruh lapisan masyarakat, maka Pemerintahan Propinsi Banten dapat mengambil tindakan yang tegas, bila perlu membubarkannya. Dalam hal ini suara legislative di Banten nyaris tidak pernah terdengar, apakah karena ketidakmampuannya karena factor kualitas SDM ataukah karena merasa phobia-kejawaraan yang masih menjadi primadona di Daerah Banten. Faktor yang terakhir ini, sesungguhnya bila dilihat dalam perspektif histories, maka didapati bahwa eksistensi kejawaraan di Banten lebih untuk mengawal proses keadilan bagi masyarakat, bukan untuk kepentingan mendapatkan limpahan materi bagi individu atau kelompoknya.

Dengan demikian, pengejawantahan good governance tidak cukup hanya disampaikan kepada wakil-wakil rakyat di DPRD Propinsi Banten, karena keberadaan mereka tidak lebih sekadar pemaknaan simbolik dari sebuah system pengelolaan pemerintahan daerah. Proses terbentuknya DPRD Propinsi Banten bukan didasarkan pada hasil pelaksanaan pemilihan secara langsung oleh masyarakat Banten, akan tetapi hasil pembagian proporsional antar Parpol peserta Pemilu Tahun 1999 –padahal Banten sendiri baru disahkan menjadi Propinsi pada tahun 2000. Fakta ini dapat dipahami bahwa pilihan masyarakat Banten mungkin saja tidak melihat lagi Parpol mana yang dikehendakinya, akan tetapi lebih pada siapa orang yang akan mewakili mereka di DPRD. Maka jangan lagi masyarakat Banten diasumsikan sebagai masyarakat yang termarjinalisasi, buta politik, dan mudah untuk dijadikan subordinasi atau hegemoni kekuasaan. Oleh karena itu transparansi, akuntabilitas, dan responsibilitas pemerinah Propinsi Banten dalam melaksanakan tugas-tugasnya perlu diketahui oleh seluruh lapisan masyarakat.

Dalam perspektif peningkatan SDM, semangat reformasi lebih mengedepankan persoalan profesionalisme. Profesionalisme pengelolaan sumber-sumber potensial di Wilayah Banten akan dapat menciptakan pendapatan daerah yang signifikan, yang pada gilirannya dapat berimplikasi logis terhadap peningkatan kualitas hidup wargan masyarakat Banten. Oleh karena itu, masyarakat Banten dituntut untuk meningkatkan kualitas diri secara individual bila tidak ingin menjadi tamu di rumahnya sendiri. Karena rotasi globalisasi tidak mungkin dicegah untuk masuk ke Wilayah Banten, sehingga kompetisi SDM atau meminjam istilah sosiolog maddison investment in man untuk mengelola potensi yang ada akan semakin terbuka dan kompleks.

Dengan latar minimnya profesionalisme SDM lokal, maka tidak dapat disalahkan bila peran-peran strategis dalam pengelolaan pembangunan di Wilayah Banten dipegang bukan oleh putra daerah, jabatan Gubernur misalnya. Hal ini dikarenakan Banten memerlukan orang-orang yang memiliki kapabelitas dan profesionalitas yang mempuni untuk mengelola pembangunan di wilayahnya. Bila dipaksakan pengelola pembangunan di Banten harus putra daerah yang tidak memiliki kapabelitas dan profesionalitas yang jelas, maka pelaksanaan pembangunan di Banten hanya merupakan sloganistis dan hanya menyuburkan iklim KKN, tanpa menghasilkan peningkatan kualitas pembangunan.

Atas paparan di atas, dapat dipahami bahwa upaya peningkatan kulitas pembangunan di Wilayah Banten lebih baik mengacu pada paradigma pemerataan pembangunan bukan pertumbuhan. Dalam implementasi program-program pembangunan, pemerintah Daerah Banten harus dapat mewujudkan good governance dengan didasari oleh semangat reformasi. Bila kedua upaya ini dapat dilaksanakan oleh para pengelola pembangunan di Wilayah Banten, maka cita-cita mewujudkan Propinsi Banten yang menjadi keinginan seluruh lapisan mayarakat Banten dapat terwujud dengan fokus utama kesejahteraan seluruh masyarakat Banten. Semoga.



§ Penulis adalah Ketua Umum DPP Generasi Muda Mathla’ul Anwar (GEMA-MA), saat ini tengah menyelesaikan studi S2 di FISIP, Universitas Muhammadiyah Jakarta. Tulisan ini dikirimkan kepada Surat Kabar Harian Banten, dengan harapan dimuat pada Kolom Opini. Terima kasih atas perhatiannya. Ciputat 18 Juni 2002.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar