WELCOME IN SONHAJI'S SPOT

04/02/09

POLARISASI PEMIKIRAN KEISLAMAN DI INDONESIA Sebuah Analisis Paradigma Poststrukturalisme dan Postmodernisme

I. Pendahuluan

Pemikiran keislaman adalah sebuah upaya memahami nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran Islam yang berfungsi sebagai pencerahan terhadap umat manusia (Islam merupakan ajaran universal) untuk kesejahteraan dan kebaikan hidup . Hidup dan kehidupan pada hakekatnya ditentukan oleh manusia sendiri, sehingga ekses yang dihasilkan baik atau buruk dalam kehidupan itu sangat ditentukan oleh manusia. Sesungguhnya disinilai titik urgensitas peran dan fungsi ajaran Islam sebagai pendorong peningkatan kualitas hidup umat manusia agar dapat memposisikan umat manusia pada harkat dan martabatnya yang paling luhur.

Namun demikian, untuk mencapai misi ajaran Islam yang membawa rahmat atau kebaikan bagi seluruh umat manusia dalam koridor pamahaman tentang ajaran Islam –kemudian dikenal dengan tradiri pemikiran keislaman—terdapat polarisasi interpretasi yang berbeda. Terjadinya differensiasi pemikiran dalam Islam ini sungguhpun dipengaruhi oleh latarbelakang pemikir itu sendiri, akan tetapi dapat menumbuhkan wacana dialektika yang positif sehingga menjadi sebuah khasanah intelektual dalam Islam yang kalau meminjam istilah Cak Nur (nama panggilan Nurcholish Madjid) sebagai intellectual enrichment.[1] Khasanah intelektual dalam Islam pada akhirnya akan menjadi sebuah peradaban dalam bidang pemikiran yang dapat menjadi alternatif budaya berfikir bagi umat manusia, yang pada akhirnya ajaran Islam tidak menjadi kaku (rigid) dalam konteks dimensi ruang dan dimensi waktu tertentu.

Kompeksitas pemikiran Islam paling tidak diilhami oleh dua aliran pemikiran besar dalam sejarah Islam yang mengiringi awal terjadinya perbedaan pendapat. Kedua aliran pemikiran itu adalah aliran pemikiran yang disebut ahlul hadits dan aliran pemikiran ahlul ra’yi. Ahlul hadits yaitu corak pemikiran keislaman yang berkembang di tanah kelahiran Islam itu sendiri yaitu di Madinah yang tentunya tradisi-tradisi keislaman yang banyak dicontohkan dalam perilaku kehidupan sahabat menjadi sebuah pemikiran dominan yang melatarbelakangi tradisi pemikiran itu. Oleh karenannya pemikiran ahlul hadits ini sangat kaku dan tekstual terhadap bunyi nash-nash yang ada, sehingga aliran pemikiran ini dalam perkembangannyan disebut sebagai gerakan skrepturalis yang bercirikan tradisionalis.[2] Untuk memudahkannya dalam tulisan ini pemikiran ahlul hadits disebut sebagai gerakan pemikiran skrepturalis-tradisionalis.

Kedua ahlul ra’yi yaitu garakan pemikiran keislaman yang berpusat di Baghdad atau Irak dengan kondisi yang berbeda dengan Madinah dan jarang dijumpai tradisi-tardisi sahabat dalam berbagai persoalan kehidupan, sehingga dalam menyelesaikan persoalan kehidupan kembali kepada kemampuan menghayati atau memahami ajaran Islam sesuai dengan kapasitas akal atau rasio.[3] Oleh karena itu tradisi pemikiran keislaman aliran ini sangat kontkestual yaitu sesuai dengan tuntutan perkembangan zamannya. Aliran pemikiran keislaman model ini disebut sebagai gerakan pemikiran keislaman rasionalis yang tentunya termasuk pada kategori modern. Untuk memudahkan penyebutannya model kedua ini disebut sebagai aliran pemikiran yang rasionalis-modernis.

Kedua aliran pemikiran ini terus bergulir memposisikan eksistensinya masing-masing dengan mengambil bentuk secara formal dalam system kehidupan yang ada. Pengembangan kedua aliran pemikiran ini juga sangat dirasakan di Indonesia dengan bentuk formalnya dijelmakan dalam wadah-wadah tertentu. Sering dijumpai kedua gerakan pemikiran ini berbenturan dalam memahami sebuah persoalan tertentu, pada tingkat akar rumput –mayoritas ummat—bisa menjadi sebuah bahaya (social disaster), akan tetapi dalam kalangan akademisi menjadi sebuah dialektika yang menarik dalam menganggapi persoalan-persoalan kehidupan yang ada. Namun di balik itu semua, eksistensi kedua aliran pemikiran keislaman akan membawa dampak positif bagi pencerahan pemikiran umat Islam yang mau mendalaminya.

Eksistensi kedua gerakan pemikiran ini di Indonesia sangat menarik bila ditinjau dalam perspektif poststrukturalisme dan postmodernisme. Untuk itu dalam malakah ini akan disajikan tulisan seputar polarisasi pemikiran keislaman di Indonesia yang diilhami oleh kedua gerakan pemikiran di atas. Setelah itu kemudian dilakukan pembahasan dengan menganalisisnya melalui perspektif poststrukturalisme dan postmodernisme. Namun sebelum menginjak pada pokok analisis, terlebih dahulu disajikan substansi mengenai postrukturalisme dan postmodernisme.

II. Polarisasi Pemikiran Keislaman di Indonesia

Untuk mengedapankan polarisasi pemikiran keislaman di Indoneisa ada baiknya terlebih dahulu menengok sekelumit tentang terjadinya transformasi keilmuan antara ulama di Indonesia dengan ulama-ulama Timur Tengah, tepatnya daerah Hijaz --sebagai pusat pengembangan ilmu keislaman. Sebagaimana diketahui bahwa terjadinya apiliasi pemahaman keislaman bangsa Indonesia dengan bangsa-bangsa Timur Tengah khususnya bangsa Arab, dimulai dengan adanya kontak perdagangan.

Kontak perdagangan sesunguhnya telah dimulai sejak masa awal berkembanganya Islam di Arab, yakni pada Abad kesatu Hijriyah. Tapi pada masa-masa awal ini belum terdapat indikasi adanya proses Islamisasi bangsa pribumi (Indonesia). Setelah melalui proses yang cukup lama --tepatnya pada abad ke-7 H.-- baru penduduk kepulauan Indonesia memeluk agama Islam.[4] Proses Islamisasi pada dekade awal ini, hanya berkisar pada penanaman aspek aqidah dan 'ubudiyah semata.[5]

Lebih lanjut kontak langsung antara Timur Tengah dan Nusantara mengambil aspek yang lebih luas, yakni baik kaum pedagang atau pengembara sufi Timur Tengah lebih mengintensifkan diri dalam penyebaran agama Islam di seluruh kepulauan Nusantara.[6] Penomena semacam ini terlihat hingga akhir abad ke-15 M. Dalam perkemabangan selanjutnya, yakni ketika menjelang paruh kedua abad ke-17 M, banyak Muslim Nusantara berdatangan ke Tanah suci dalam rangka mendalami ajaran Islam. Disinilah awal terbentuknya transformasi keilmuan antara Timur Tengah dengan Nusantara.[7]

Pada abad ke-17 M. ini telihat tiga orang yang menjadi mata rantai utama jaringan ulama Nusantara dengan Timur Tengah. Ketiga orang itu adalah Al-Raniri, Al-Sinkili dan Al-Maqsari.[8] Ketiga orang ulama tersebut membawa angin segar terhadap eksistensi syari'at Islam (baca: ajaran Islam) di Nusantara setelah membawa pengetahuan dari guru-gurunya di Tanah suci. Al-Raniri misalnya membuat karyanya dibidang fiqih "Shirath Al-Mustaqim, Kaifiyat Al-Salah dan Ba' Al-Nikah.[9] Dari sentuhan-sentuhan transformasi keilmuan ini, yang berlanjut sampai sekarang kemudian memunculkan polarisasi pemikitran Hukum Islam di Indonesia. Poliraisasi pemikiran hukum ini paling tidak mengambil dua model, yakni model skriptural dan model rasional.

Bercermin dari muara pemahaman ahlul hadits dan ahlul ra'yi terhadap pemikiran Islam, maka dalam konteks Indonesia dapat dilihat terdapat polarisasi pemikiran tentang keislaman. Terlebih pada masa sekarang ini, polarisasi pemikiran tersebut terlihat sangat heterogen. Iklim heterogenitas ini yang memicu para pemikir Islam untuk tetap konsisten dan bersikap toleran terahadap "lawan" pemikirannya.

Bila dilacak dari awal pertumbuhan pemikiran keislaman di Indonesia --sebagaimana telah dijelaskan di awal bab ini--, akan nampak bahwa pada mulanya pola pemikiran tersebut bersifat tradisional-skripturalistik. Tradisional-skripturalistik adalah merupakan corak berpikir yang berorientasi pada aspek eksistensi literal teks nash. Bagi mereka "gugatan" teks nah masih tetap merupakan sesuatu yang dianggap tabu, karena teks nash tersebut dianggap sebagai wujud tunggal dari "kebenaran mutlak" yang mesti dipedomani.[10]

Pola pemikiran tradisional-skripturalistik ini dalam lingkungan pemikiran hukum Islam di Indonesia lebih dominan berpengaruh pada pesantren-pesantren di pedesaan yang mendapat bimbingan penuh dari kiyai (ulama).[11] Gerakan pemikiran ini dapat unjuk gigi sebagai sebuah gerakan pemikiran terbesar di Indonesia, setelah terbentuk organisasi Nahdatul Ulama (NU). Basis-basis pemikiran NU terletak di pesantren-pesantren pedesaan dengan memusatkan pengajian kitab-kitab fiqih yang bermadzhab Syafi'i.[12]

Dalam perjalanannya gerakan tradisional-skripturalistik ini dipandang telah mengabaikan pedoman ummat Islam yaitu Al-Qur'an dan Hadits, maka sebagai antitesis dari gerakan ini muncul suatu gerakan yang berorientas kepada Al-Qur'an dan Hadits. Simbol dari gerakan pemikiran ini diwakili oleh organisasi masa (ormas) Islam, seperti Muhammadiyah, Al-Irsyad dan Persis.[13] Namun dari kedua pemikiran itu, terdapat satu organisasi yang dulunya identik dengan NU, akan tetapi dalam perkembangannya juga akomodatif dengan pemikiran-pemikiran Muhammadiyah.

Organisasi jenis ketiga ini adalah Mathla’ul Anwar (MA). Mathla’ul Anwar yang membolehkan anggotanya menggunakan paradigma manapun dalam melakukan rekonstruksi terhadap ajaran Islam, asal sejalan dengan ruh atau nafas nash yang terkandung dalam ajaran Islam. Dalam tataran praktis, sejak didirikannya MA yang cenderung menerapkan gearakan di bidang pendidikan, melakukan gerakan pendidikan modern dengan system klasikal, mamun dalam parktek-praktek kehidupan keagamaan masih mengakomodir taradisi-tradisi keagamaan local yang sudah mengkristal tumbuh di tengah lingkungan berdirinya organisasi ini, yakni di Menes, Kabupaten Pandeglang, Propinsi Banten.[14]

Organisasi Kemasyarakatan Islam (OKI) yang bersikap kritis terhadap ajaran Islam terdahulu untuk menjadikan ajaran Islam tetap kontekstual dengan dimensi ruang dan waktu, disebut sebagai gerakan modern Islam di Indonesia.[15] Namun dalam hal mencerna pemikiran terhadap aspek hukum, OKI yang tergolong pada gerakan modern dalam Islam pun masih terpaku kepada corak skripturalnya. Hal ini terliat pada statemen-statemen yang dilontarkan oleh figur sentral atau kolektifitas lembaga ketika dihadapkan pada persoalan hukum yang secara literal terdapat dalam teks nash.

Sebagai tamsil dalam maslah membumikan doktrinya yakni kembali kepada Al-Qur'an dan Hadits, sikap Muhammadiyah terlihat tidak begitu berani mengadakan pengkajian secara lengsung terhadap sumber itu untuk diimplementasikan pada situasi dan kondisi kekiniaan. Dalam hal ini statemen yang dilontarkan Muhammadiyah adalah:

"Muhammadiyah memperlihatkan kecenderungan untuk sangat berhati-hati dalam melakukan pendekatannya. Masalah ini adalah masalah cara, masalah preferensi untuk mengadakan pendekatan selangkah demi selangkah. Dan dalam melakukan ijtihadpun Muhammadiyah tidak secara apriori menolak pendapat para pendiri madzhab; tapi sebaliknya organisasi ini mendaftarkan segala pendapat-pendapat mereka, membandingkannya yang satu dengan yang lain dan memberikan dukungannya kepada pendapat yang menurutnya lebih sesuai dengan Al-Qur'an dan Hadits.[16]

Melihat kecenderungannya dalam menyikapi penomena hukum yang terkandung dalam nash secara eksplisit, maka gerakan ini dapat dikategorikan sebagai gerakan pemikiran Islam yang bercorak modern-skriptural-listik. Dikatakan modern, karena gerakan ini mampu menciptakan reformasi di bidang pengembangan wawasan keislaman dibanding dengan gerakan tradisional-skriptural-listik.[17] Namun pada tataran pemikiran hukum Islam, gerakan ini tidak berani mengadakan rekonstruksi pemahaman terahadap bunyi literal nash, dengan menangkap makna yang lain.

Sebagai kelanjutan dari gerakan ini muncul suatu gerakan yang mencoba mengadakan "modifikasi" terahadap pemikiran keslaman melalui pendekatan rasionalitas dengan mengutamakan aspek kemaslahatan ummat, penelitian 'illat dan maqasid syar'i.[18] Kerangka pemikiran semacam ini merupakan sebuah strategi intelektual yang rasional berdasarkan data sosiologis, tapi keberadaannya tidak menyimpang dari ruh Islam.[19] Oleh karenanya pola pendekatan gerakan pemikiran ini lebih lazim bila disebut gerakan rasionalistik.

Gerakan pemikiran keislaman yang rasional ini baru diresponi di Indonesia pada awal dasawarsa 1970-an. Berarti kehadirannya sangat terbelakang ketimbang pemikiran Islam yang skriptural. Hal ini dipengaruhi oleh situasi pemahaman keagamaan kaum muslimin di Indonesia yang menganut mazhab Asy'ariyah dalam bidang teologi dan mazhab Syafi'i dalam bidang hukum Islam.[20] Adanya keterkaitan pada kedua mazhab itulah, yang kemudian berpengaruh pada corak pemikiran Islam bersikap skriptural, artinya lebih cenderung mendahulukan nash dari pada rasio.[21]

Gerakan pemikiran keislaman yang rasional lebih berani menangkap realitas sebagai fenomena yang harus mendapat prioritas untuk direspon. Maka dalam paradigma versi pola gerakan rasional ini sangat menerima realitas sebagai obyek implementasi. Sekalipun untuk maksud tersebut ajaran dalam teks nash boleh jadi harus "digugat".[22]

Pola pemikiran hukum Islam rasional ini pun pada perjalanannya, terdapat ketidak-puasan sebagian kalangan untuk menerima pandangan-pandangannya yang terlalu mengandalkan sisi logika, tanpa perduli terhadap paham yang dibangun sebelumnya. Gerakan rasional mereka pandang sebagai gerakan pemikiran yang tidak mampu memberikan solusi yang feasible (mudah untuk dilaksanakan).[23]

Kelompok model terakhir ini dapat disebut sebagai pola pemikiran hukum Islam transformatif. Pendekatan pola transformatif ini memandang perubahan sebagai sarana untuk mencapai cita kebaikan kualitatif. Maka dapat dilihat, bahwa ciri khas dari pola pemikiran transformatif ini adalah keterbuakaan, yaitu bersedia untuk belajar dan memahami. Sekalipun harus belajar kepada pola pemikiran tradisional-skripturalistik.[24]

Reformasi tidak akan pernah berhasil, manakala selalu mengesampingkan kultur pemikiran yang telah dibangun sebelumnya.[25] Karena itu institusi keulamaan yang telah ada pada aliran pemikiran tradisional-skripturalistik harus diakomodir melalu pendekatan yang fleksibel. Dengan strategi semacam ini maka pola pemikiran rasional lebih memungkinkan untuk dapat diterima.[26]

Maka dalam paradigma pemikiran kaum transformis teks nash tetap dipandang sebagai nash, yang berarti perlambangan atau tanda dari ide kemutlakan yang dikandungnya. Ini artinya bahwa nash yang terbaca secara eksplisit pada dasarnya adalah obyektivitas atau verbalisasi (pengungkapan tersirat) terhadap ide-ide kebaikan universal yang telah ditanamkan Tuhan dalam fithrah manusia sejak masa azali, seperti keadilan, persamaan hak, kagaikan dan sebagainya.[27] Pendekatan ini dimaksudkan untuk dapat mengimplementasikan ajaran Islam di tengah merebaknya polarisasi pemikiran keislamsn yang ada.

Sebagai ilustrasi dari gerakan pemikiran transformis, dapat dilihat bagaimana gerakan ini memahami perintah zakat yang telah digariskan dalam nash. Dalam nash disebutkan dengan jelas bahwa zakat adalah bagian kekayaan yang diambil dari yang kaya untuk diberikan kepada yang miskin. Karena sudah jelas tujuannya maka sikap yang mereka ambil adalah cara-cara mengumpulkan zakat yang efektif untuk didistribusikan kepada kepentingan orang miskin.[28]

III. Substansi Poststrukturalisme dan Postmodernisme

Sebelum melakukan analisis terhadap polarisasi pemikiran keislaman seperti dielaborasi pada bahasan di atas, terlebih dahulu akan dielaborasi mengenai paradigma berfikir aliran poststrukturalisme dan postmodernisme. Dari elaborasi kedua aliran pemikiran ini kemudian dapat ditarik benang merah dengan polarisasi pemikiran keislaman di Indonesia. Di mana kedudukan kedua aliran tersebut dalam peta pemikiran keislaman di Indonesia.

3.1. Substansi Poststrukturalisme

Poststrukturalisme adalah sebuah aliran pemikiran yang merekonstruksi pemeikiran strukturalisme. Strukturalisme diambil dari pemikiran sosial bangsa Prancis tahun 1960-an yang muncul sebagai reaksi melawan humanisme prancis, khususnya paham existensialis dari Jean-Paul Satre. Satre memfokuskan pada individu, khususnya pada kebebasan individu. Pandangan ini dipangeruhi oleh pendapat bahwa apa yang dilakukan oleh manusia semata-mata ditentukan oleh manusia sendiri, bukan oleh hukum-hukum sosial atau struktur sosial yang lebih besar. Bagi Satre dan eksistensialis pada umunya berpandangan bahwa pelaku-pelaku memiliki kapasitas untuk bertindak pada saat sekarang, bergerak pada masa depan, kemudian mereka bertanggung jawab atas apa yang mereka perbuat, tak usah meminta izin atau membuat alasan.[29]

Pandangan ini dikritik oleh kaum strukturalis yang mengutamakan hubungan-hubungan structural yang terdapat dalam kenyataan sosial yang nyata. Strukturalisme lebih memfokuskan perhatiannya pada kekuatan sosial yang berbeda-beda serta hubungan antara kekuatan sosial yang merupakan kunci untuk melakukan perubahan sosial. Sebagian strukturalisme lebih tertarik pada keadaan penuh tantangan dalam suatu masyarakat.[30] Dalam pandangan strukturalisme yang lebih menekankan pada kunci pokoknya bahasa, ditegaskan bahwa pikiran dan dunia sosial dinetuk oleh sturuktur bahasa. Seperti “panas” bukan datang dari sifat hakiki dunia, akan tetapi datang dari hubungan kata dari berpasangannya, yaitu kata “dingin”. Hal ini berarti, ekisistensi dunia di mana manusia membentuk lingkungannya, diganti dengan sebuah dunia di mana manusia dan aspek-aspek lain dunia sosial, dibentuk oleh struktur bahasa.[31]

Dari sini dapat dipahami bahwa strukturalisme menolak keberadaan empiricism (kenyataan) dan menerima struktur pokok yang tidak kelihatan. Dalam hal ini salah satu tokoh strukturalisme Goldelier mengatakan bahwa apa yang kelihatan adalah realita yang menyembunyikan yang lain, realita yang lebih mendalam adalah realita yang tersembunyi dan penemuan yang terdalam dari kesadaran ilmiyah. Dengan logika berfikir seperti ini, maka pemikiran strukturalis secara sederhana lebih mengedepankan tujuan struktur sangat ditentukan oleh tingkah laku yang deterministic (yang telah ditentukan).[32] Bila dilihat dari paradigma filsafat, maka akliran skruipturalisme identik dengan alam pemikiran plato. Di mana alam idea lebih dikedepankan dalam pencaharian sebuah kebenaran sekalipun dalam konteks sosial. Dalam hal ini alur pemikiran poststrukturalisme relevan dengan pandangan kaum fungsionalisme yang bersandar pada paradigma positivisme yang mengelaborasi bahwa manusia dapat melakukan rekayasa sosial atau merekayasa sebuah bentukan komunitas.[33]

Pandangan-pandangan strukturalisme yang lebih deterministic, kemudian ditentang oleh pemikiran-pemikiran baru yang merevisinya yaitu dikenal dengan postrtrukturalisme. Pendekatan pemikiran poststrukturalisme ini pada permulaannya digagas oleh Jaqkues Derrida pada tahun 1966. Pada permulaan Derrida menekankan pada permasalahan bahasa yang menurutnya sebagai sesuatu yang menyimpang dan tidak stabil. Objek ketegasan Derrida yang lain adalah logosentrisme (pencarian bagi system universal pemikiran yang muncul, seperti apa yang baik, benar, cantik dan sebagainya) yang didominasi oleh pemikiran sosial Barat. Menurutnya logosentrisme telah menyebabkan lebih cepat pengakhiran tidak hanya pada bidang filsafat, tetapi juga pada ilmu-ilmu kemanusiaan. Deridda tertarik dengan mendekonstruksi atau “pembongkaran” sumber pengakhiran ini, dengan demikian dapat membebaskan tulisan dari hal yang memperbudaknya. Di sini ditegaskan bahwa ada keinginan dari Deridda untuk melihat masyarakat terbebas dari pikiran seluruh kekuasaan intelektual yang telah diciptakan oleh retorika yang dominan. Dengan kata lain Deridda ingin melihat manusia menjadi penulis yang bebas.[34]

Pandangan Derrida tentang masa depan lebih pragmatis tetapi tidak melupakan hal-hal yang bersifat metafisis. Statemant yang dibangunnya tentang masa depan adalah bahwa masa depan selain harus ditunggu juga harus ditemukan kembali. Hal ini dimaksudkan bahwa manusia tidak akan menemukan masa depan pada masa lalu, atau secara pasif menunggu nasib. Namun masa depan itu harus dicari, diciptakan, diukir dengan apa yang kita lakukan.[35]

Selain Deridda pemikiran poststrukturalisme dikemukakan juga oleh Michel Foucault. Foucault tidak benar-benar memandang negatif terhadap pertumbuhan masyarakat disipliner (disciplinary cociety). Masyarakat disipliner juga mempunyai akibat positif. Misalnya dia melihat disiplin berfungsi dengan baik dalam kemiliteran dan industri perpabrikan. Namun Foucault mencemaskan pula bila pendisiplinan ini berkembang khususnya pada jaringan kepolisian negara, di mana yang menjadi tanggapan dan objek pendisiplinan adalah seluruh masyarakat. Foucault tidak melihat bahwa pendisiplinan harus diterapkan secara seragam pada semua lapisan masyarakat. Meskipun dia melihat bahwa disiplin memenuhi dan mempengaruhi seluruh lapisan masyarakat.[36]

Dari penjelasan tentang poststrukturalisme di atas dapat dipahami bahwa poststrukturalisme mengajarkan manusia sebagai makhluk yang mempunyai pemikiran dan bermartabat harus diposisikan sebagai subjek dari seluruh dimensi kehidupan. Pemikiran strukturalisme juga mengakui akan kenyataan atau empirisme, namun tidak melupakan begitu saja tentang alam metafisis atau sesuatu yang bersifat transcendental. Namun di atas itu semua dalam pemahaman ini manusia bisa melakukan segala sesuatu atas dasar kemampuan yang dimiliki oleh manusia itu sendiri.

3.2. Substansi Postmodernisme

Untuk melakukan pembahasan postmodernisme harus didahului dengan pembahasan modernisme yang secara substantif menekankan gerakan sosial yang ersifat revolusioner (perubahan cepat dari tradisi ke modern). Selain itu modernisasi juga berwatak kompleks (melalui berbagai cara dan disiplin ilmu), sistematik, menjadi gerakan global yang akan mempengaruhi semua manusia, melalui proses bertahap untuk menuju suatu homogeniasasi dan bersifat progresif.[37] Pada dataran konsptual, modernisasi lebih menekankan pada aspek rasionalitas dalam menyikapi permasalahan.

Konsep rasionalitas ini pada awalnya dikedepankan oleh seorang sosiolog dari Perancis yaitu Auguste Comte (1798-1857) dengan mengemukakan teori perkembangan masyarakat yang dibagi kedalam tiga tahap. Tahap pertama adalah tahap teologis, yang mengelaborasi tataran sosial merupakan manifestasi dari ajaran agama (Religious Thinking). Tahap kedua berupa Tahap Metafisis, yakni diyakni bahwa tataran sosial merupakan manifestasi dari ketidakberdayaan untuk menghadapi kekuatan alam. Dan Tahap ketiga yaitu Tahap positif, yang mencerminkan bahwa tataran sosial merupakan manifestasi dari realitas/fakta sosial, maka dalam tahap ini manusia dituntut untuk berfikir secara ilmiyah.[38]

Pemikiran Auguste Comte dalam paradigma filsafat dikenal dengan aliran positivisme yang kemudian memancarkan rasionalisme. Cara berfikir rasional kemudian melahirkan sebuah era modernitas. Pada alam modern segala sesuatu selalu diukur dengan kekuatan rasio atau logika, bila tidak dapat diukur dengan rasio maka tatanan yang dibangun tidak mendapatkan penilaian yang baik. Alhasil dalam era modern paradigma berfikirnya selalu bermuara pada materialistik, sebab yang dapat terukur oleh kekuatan atau jangkauan rasio adalah hal-hal yang nyata dan factual yang bersifat materi. Dengan demikian modernisasi lebih cenderung untuk melegitimasikan tiap bentuk pengetahuan melalui semacam “meta wacana” atau “narasi besar” seperti kemajuan, kebebasan berfikir, emansipasi, dan sebagainya.[39]

Modernitas kemudian melahirkan paham materialisme yang dapat menjebak manusia pada proses mekanisasi, sehingga sisi-sisi kemanusiaan (humanisasi) dapat terdistorsi bahkan teralienasi dalam pergumulan kehidupan modern. Dalam kaitan ini, Sayyed Hossein Nasr dalam bukunya Islam and the Plight of Modern Man mengelaborasi manusia modern telah terjebak pada dua hal mendasar. Pertama manusia modern telah lupa, siapakah ia sesungguhnya. Karena manusia telah hidup di pinggir lingkaran eksistensinya sendiri, ia telah memperoleh pengetahuan dunia yang secara kualitatif bersifat dangkal tetapi secara kuantitatif sangat mengagungkan. Kedua manusia modern telah memberontak melawan sang pencipta rasio sendiri, telah menciptakan sebuah sains yang tidak berdasarkan cahaya intelek, tetapi berdasarkan kekuatan akal (reasion) manusia untuk memperoleh data melalui indera.[40]

Oleh karena itu, modernisme memiliki kelemahan-kelemahan yang patut diperhatikan sehingga tidak menjebak manusia terperosok pada kesesatan proses perputaran peradaban. Kelemahan-kelemahan modernisme antara lain; pertama, pandangan modernisme tentang dualistic yang membagi seluruh kenyataan menjadi subjek dan objek, seperti spiritual-spiritual, manusia-dunia, dan sebaginya. Hal ini telah menimbulkan objektivisasi alam secara berlebihan dan pengurasan alam secara berlebihan. Kedua, pandangan modern yang bersipat objektivistis dan positivistis yang pada akhirnya cenderung menjadikan manusia sebagai objek juga, dan masyarakat pun direkayasa bagai mesin. Ketiga, ilmu-ilmu positif-empiris menjadi standar kebenaran tertinggi. Hal ini mengakibatkan nilai-nilai moral dan religius kehilangan wibawanya. Keempat, materialisme dianggap sebagai kenyataan dan pandangan dasar. Pada akhirnya kehidupan diarahkan pada penvaharian materi yang tidak ada habis-habisnya. Kelima, militerisme, kekuasaan, dan kekerasan sebagai alat penekan untuk mengatur dan mengarahkan manusia, dan Keenam, bangkitnya tribalisme atau mentalitas yang mengunggulkan suku atau kelompok sendiri.[41]

Kelemahan-kelemahan dari perkembangan modernisme ini kemudian direkonstruksi atau dikritisi secara reaktif oleh pemikiran pasca modern yang secara substantif berupaya menempatkan paradigma kemodernan secara proporsional, tanpa mengalienasi nilai-nilai yang telah hidup dan berkembang pada tataran sosial tertentu. Pemikiran ini pada akhirnya didefinisikan sebagai postmodernitas yang salah satu cirinya adalah kontinuitas dengan masa lalu. Sebagaimana diungkapkan oleh Akbar S. Ahmed dalam bukunya Posmodernisme Bahaya dan Harapan bagi Islam bahwa memahami era posmodernitas berarti mengasumsikan pertanyaan tentang hilangnya kepercayaan pada proyek modernitas, semangat pluralisme, skeptisisme terhadap ortodoksi tradisional, dan akhirnya penolakan terhadap pandangan bahwa dunia adalah sebuah totalitas universal, pendekatan terhadap harapan akan solusi akhir dan jawaban sempurna.[42]

Oleh karena itu masyarakat postmodernisme ditandai dengan implosi (ledakan ke dalam) atau peleburan segala batas, wilayah, dan pembedaan antara budaya tinggi dan budaya rendah, penampilan dan kenyataan, dan segala oposisi biner lainnya. Dalam hal ini, era posmodernitas lebih mengedepankan kultur local yang dapat dijadikan nilai imanen sebagai sumber inspirasi bagi kehidupan lokalitas dalam upaya pencapaian tarap kehidupan yang lebih baik, manusiawi, dan berwawasan ekodevelopment. Dengan demikian gerakan postmodernitas tidak diarahkan untuk menolak modernitas secara total, melainkan melakukan improvisasi terhadap premis-premis modern yang dianggap bertentangan dengan sisi kemanusiaan, religiusitas, dan keberlangsungan ekologis. Gerakan ini dapat dikatakan sebuah kritikan-kritikan imanen terhadap modernitas dalam rangka mengatasi berbagai konsekwensi negatifnya.[43]

Pelopor gerakan postmodernitas yang memberikan kritik sangat tajam terhadap sisi-sisi negatif modernitas salah satunya adalah Michel Foucault seorang penganut aliran poststrukturalis-postmodernis Prancis. Kritik yang dibangunnya terutama dalam melihat konsekwensi-konsekwensi negatif modernitas dalam praktek kehidupan individu dan masyarakat sehari-hari. Foucault menunjukan keberpihaknnya terhadap wacana-wacana yang tertindas, wacana-wacana yang termarjinalisasikan oleh wacana besar yang mendominasi dan mengontrol, kemudian memunculkan wacana-wacana tandingan berupa “wacana-wacana kecil”. Wacana yang dikembangkan mulai dari persoalan tubuh (human body), seksualitas, etnis, kultur, sampai wacana politik global.[44]

Dalam perjalanan berikutnya gerakan postmodernisme lebih cenderung mengambil kembali paradigma pramodern dengan menampilkan diri seperti gerakan kembali ke alam (back to nature), kembali ke adat tardisi (back to culture), dan kembali kepada kearifan tradisional.[45] Dengan kenyataan ini Mansour Fakih menyebut bahwa gerakan postmodernitas sebagai sebuah gerakan dekonstruksi pembangunan.[46] Walau demikian perdebatan tentang eksistensi postmodernitas sampai saat ini masih berlanjut menjadi sebuah proses dialektika yang didasarkan pada fakta-fakta histories kelahiran derakan modernitas. Karena pada hakekatnya postmodernitas merupakan sebuah proses sejarah yang akan tetap bergulir mencari identitas dan eksistensi dirinya dengan tujuan menciptakan kualitas kehidupan yang lebih baik.

IV. Analisis Pemikiran Keislaman di Indonesia Berdasarkan Paradigma Poststrukturalisme dan Postmodernisme

Mencermati polarisasi pemikiran keislaman di Indonesia yang secara substantif bertujuan untuk mencerdaskan dan meningkatkan kualitas kesadaran moralitas umat, agar dapat bersaing dengan peradaban bangsa-bangsa lain, maka dalam analisis berdasarkan paradigma poststrukturalisme dan postmodernisme akan mendapatkan tingkat relevansi tertentu. Relevansi kedua paradigmatic ini tidak interdependensi dengan kehadiran polarisasi pemikiran keislaman itu, sebab akar pergolakan pemikiran keislaman sesungguhnya telah dihadirkan dalam proses dialogis perjalanan sejarah. Dengan demikian munculnya polarisasi pemikiran keislaman di Indonesia bukan merupakan sesuatu yang ahistoris.

Dalam pembahasan di atas, polarisasi pemikiran keislaman di Indonesia paling tidak dapat dikelompokan kepada tiga kategori utama (primary categories). Pertama, corak pemikiran skrepturalis-tradisionalis yang diwakili oleh golongan Nahdalatul Ulama (NU). Kedua, corak pemikiran rasionalis-modernis yang diwakili oleh Muhammadiyah, Al-Isyad, dan NU. Dan Ketiga, corak pemikiran yang bersifat transformatif yakni pemikiran keislaman yang dalam satu sisi mengedepankan rasionalitas dan kemodernan, namun disisi lain juga akomodatif terhadap gerakan cultural atau tradisi-tradisi kehidupan keagamaan yang telah tumbuh di lingkungan sekitarnya. Model pemikiran transpormatif ini dapat diwakili oleh Mathla’ul Anwar (MA).

Model pemikiran keislaman yang skrepturalis-tradisionalis dalam wacana pemikiran dapat diketegorikan ke dalam pemikiran strukturalis. Pemikiran strukturalis dengan skrepturalils-tardisionalis mempunyai persamaan yang signifikan. Keduanya lebih mendahulukan teks literal dan mengesampingkan rasio dalam menelaah atau mengkaji sebuah kasus berdasarkan ajaran agama Islam yang terkandung dalam teks atau literal yang ada. Pola pemikiran seperti ini cenderug deterministik dan mengandung kepasrahan total kepada sesuatu yang bersifat transcendental. Dalam pengembangannya pemikiran semacam ini telah membawa nestapa terhadap pengembangan intelektual, sehingga menjadikan manusia sebagai objek dan tidak kreatif terhadap tuntutan perkembangan zaman.

Pemikiran rasionalis-modernis dapat digolongkan pada jenis pemikiran poststrukturalis. Poststrukturalis lebih mengedepankan tentang empirisme yaitu sesuatu yang nampak itulah hakekatnya sebuah kebenaran. Namun demikian poststrukturalis tidak semata-mata menguburkan factor deterministic, akan tetapi determisitik dapat terwujud melalui sebuah proses kretif yang dilakukan oleh manusia. Dalam hal ini factor manusia sebagai makhluk rasional lebih mendapatkan tempat yang dominan, ketimbang factor transcendental yang hadir di luar alam empirik. Begitu pula pemikiran keislaman dengan corak rasionalis-modernis lebih mengedepankan posisi logika ketimbang factor literal yang ada dalam ajaran Islam. Pola pemikiran rasionalis-modernis dengan poststrukturalis memiliki persamaan dalam hal meletakan manusia sebagai subjek untuk melakukan kajian terhadap fenomena yang terjadi dalam proses kehidupan.

Sungguh pun demikian, pemikiran rasionalis-modernis banyak dikhawatirkan oleh para pemikir Islam dalam proses atau perjalanannya akan tergelincir pada pemahaman subjektifitas seseorang terhadap bunyi literal ajaran Islam. Karena rasio manusia itu pun terbatas pada hal-hal yang bersifat material semata, akan tetapi bila sudah bersentuhan sengan alam metafisis maka rasio manusia tidak dapat menjangkaunya. Jangkauan pemikiran terhadap alam metafisis yang tidak dapat dilihat oleh indra manusia dalam istilah paradigma pemikiran dikenal dengan sebutan supra-rasional.

Pola pemikiran yang terakhir yang disebut sebagai pemikiran transformatif, sesungguhnya hadir karena desakan kesadaran akan realitas pemikiran rasionalis-modernis yang cenderung mengadakan belokan terhadap literal ajaran Islam. Pemikiran trasformatif ini terbiasa mengedepankan rasio untuk memecahkan persoalan, akan tetapi persoalan literal ajaran Islam yang telah baku tetap dipertahankan. Artinya pola pemikiran semacam ini tetap mengakomodasi jenis perubahan yang pernah terjadi di lingkungannya, baik berupa tradisi, kultur, dan teks literal ajaran keislaman yang ada. Hal ini sejalan dengan paradigma berfikir aliran postmodernisme, yang mana mencoba melakukan rekonstruksi terhadap aliran modernisme yang lebih mengdepankan rasio tanpa memperhatikan makna-makna substantif dan transcendental di balik kenyataan empirik.

Dalam wujudnya yang paling kongkrit, pola pemikiran yang terakhir ini dapat memberikan sebuah jawaban atas realitas multikulturalisme dan differensiasi persoalan di tingkat local. Karena bagaimana pun juga di setiap locality mempunyai identitas kultur tertentu yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Agara sebuh ajaran atau isme dapat diterima di sebuah locality, maka ajaran atau isme itu harus akomodatif terhadap kultur atau kondisi yang ada di lingkungan setempat. Mengabaikan kultur atau tradisi locality berarti sama dengan mengubur sebuah ajaran atau isme yang akan diterapkan pada diterapkan.

Persoalan seperti ini sesungguhnya telah menjadi catatan sejarah bahwa sebuah ajaran atau isme yang dipaksakan tanpa mengakomodasi niali-nilai, kultur atau tradisi yang hidup dan berkembang di suatu tempat tertentu, pada gilirannya akan tidak berkembang bahkan dijauhi dan dimusuhi oleh masyarakat locality tertentu. Sebut saja hadirnya paham komunisme di Indonesia yang selalu memaksakan ajarannya untuk diterima oleh penduduk Indonesia, dengan tidak memperhatikan tradisi dan kultur bangsa Indonesia, maka pada gilirannya ajaran ini terdepak keluar dari domain nasional. Pada penguasaan Orde Baru, bagaimana pemerintah memaksakan ideology Pancasila kepada masyarakat Indonesia untuk diterima (taken for granted) tanpa reserve, dengan telah direduksi oleh kepentingan penguasa, pada gilirannya masyarakat jenuh dan bosan bahkan cenderung meremehkan nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran Pancasila. Sebab pada dataran praktis Pancasila telah dicontohkan oleh penguasa pada waktu itu diselewengkan dari maknanya yang hakiki. Pancasila hanya menjadi sebuah sloganistik dan ajaran formal bagi masyarakat yang ingin mengenyam jenjang di birokrasi atau jalur pendidikan. Padahal sesungguhnya Pancasila lahir dari nilai-nilai atau kultur yang tersemai dan berkembang di Tanah Air.

Namun bila ajaran atau isme tertentu memperhatikan dan mengakomodasi nilai-nilai atau kultur local yang ada, maka ajaran atau isme tersebut akan diterima dengan lapang dada oleh masyarakat setempat. Salah satu contoh betapa penyebaran ajaran atau agama Islam di Nusantara selalu memperhatikan kultur local, sehingga agama Islam mempunyai tempat tersendiri di tengah masyarakat Indonesia. Ini disebabkan ajaran Islam tidak melarang membangun sebuah kultur local asal secara substansial tidak bertentangan dengan ajaran Islam itu sendiri. Ajaran Islam sesungguhnya mengandung niali-nilai universal, sehingga selalu tepat atau relevan dengan kondisi locality tertentu.

Pola pemikiran keislaman yang memaksakan ajarannya tanpa kompromi cenderung tidak mendapat tempat pada mayoritas ummat. Berbeda dengan pola pemikiran keislaman yang akomodatif yang pada tatanan realitas diminati oleh mayoritas masyarakat di setiap locality ternetu. Dalam analisis paradigma berfikir poststrukturalisme dan postmodernisme, hal ini sejalan karena merupakan perjalanan atau proses sejarah tentang menemukan paradigma berfikir untuk kesejahteraan manusia. Karena manusia adalah manusia yang bermartabat, beradab, dan memiliki akal fikiran yang tidak dimiliki oleh makhluk-makhluk hidaup lainnya. Oleh karena itu, kecenderungan menempatkan manusia sebagai subjek dalam menangani setiap persoalan serta tetap percaya pada sesuatu yang bersifat transcendental, harus dipertahankan di tengah arus besar globalisasi yang tengah melanda planet bumi ini.

DAFTAR PUSTAKA

Abdilah S, Ubed, Politik Identitas Etnis Pergulatan Tanda Tanpa Identitas, Magelang: Indonesiatera, 2002, cet. Ke-1

Ahmed, Akbar S. dalam bukunya Posmodernisme Bahaya dan Harapan bagi Islam, Bandung: Mizan, 1993, cet. Ke-1

Atho Mudzhar, Mohammad, Fatwa-Fatwa Majlis Ulama Indonesia, Jakarta: INIS, 1993

Azra, Azyumardi, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulan Nusantara Abad XVII dan XVIII, Bandung: Mizan, 1994, cet. ke-1

Bik, Hudhari, Tarikh Al-Tasyri' Al-Islami, Indonesia: Darul Ikhya, tt.

Djamil, Fathurrahman, Perkembangan Pemikiran Hukum Islam Dewasa ini, Makalah, Seminar sehari ”Pemikiran Hukum Islam Prof. K. H. Ibrahim Hoesen”, Jakarta: Fakultas Syari'ah IAIN Jakarta, 4 Juni 1994

Djuwaeli, Irsyad, Membawa Mathla’ul Anwar ke Abad XXI, Jakarta: PB. Mathla’ul Anwar, 1996

Fakih, Mansour, Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi, Yogyakarta: INSIST Press, 2002, Edisi Revisi, cet. ke-1

Hasan, A. Rifai dan Amrullah Achmad, (ed.), Perspektif Islam dalam Pembangunan Bangsa, Yogyakarta: PLP2M, 1987, cet. ke-1

Hossein Nasr, Seyyed, Islam dan Nestapa Manusia Modern, Bandung: Pustaka, 1983, Cet. Ke-1

Imarah, Muhammad, Karakteristik Methode Islam, Jakarta: Media Da'wah, 1994, cet. ke-1

Madjid, Nurcholish, Islam Kemodernan Dan Keindonesiaan, Bandung: Mizan, 1989, cet. ke-3

Ma’arif, A. Syafi’i, Peta Bumi Intelektualisme Islam di Indonesia, Bandung: Mizan, 1993, cet. ke-3

Noer, Deliar, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, Jakarta: LP3ES, 1990, cet. ke-5

Pijper, G.F., Beberapa Studi tentang Sejarah Islam di Indonesia 1900-1950., Jakarta: UI Press, cet. ke-2

Rahardjo, M Dawam, Intelektual, Intelegensia, dan Perilaku Politik Bangsa: Risalah Cendikiawan Muslim, Bandung: Mizan, 1993, cet. ke-1

Ritzer, George, Modern Sociological Theory, Mariland: The Mc.Graw Hill Companies, 1996

Sadzali, Munawir, M.A., et al., Reaktualisasi Ajaran ISlam, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1988, cet. ke-1

Soekanto, Soerjono dan Ratih Lestarini, Fungsionalisme dan Teori Konflik dalam Perkembangan Sosiologi, Jakarta: Sinar Grafika, tt, juga lihat dalam karya Mansour Fakih, Op. Cit.

Soekanto, Soerjono, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Rajawali, 1992, Cet, ke-16

Sugiharto, I Bambang, Postmodernisme, Tantangan bagi Filsafat, Yogyakarta: Kanisius, 1996, cet. ke-8

Wahhab Khalaf, 'Abdul, Khulasah Tarikh Al-Islami, Solo: Ramadhani, 1992, cet. ke-6

Yatim. Badri, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994, cet. ke-1



[1] Nurcholish Madjid, Islam Kemodernan Dan Keindonesiaan, Bandung: Mizan, 1989, cet. ke-3, h. 25

[2] 'Abdul Wahhab Khalaf, Khulasah Tarikh Al-Islami, Solo: Ramadhani, 1992, cet. ke-6, h. 75

[3] Hudhari Bik, Tarikh Al-Tasyri' Al-Islami, Indonesia: Darul Ikhya, tt, h. 408

[4] Drs. Badri Yatim, M.A., Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994, cet. ke-1, h. 193

[5] Ibid., h. 202

[6] Dr. Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulan Nusantara Abad XVII dan XVIII, Bandung: Mizan, 1994, cet. ke-1, h. 57

[7] Ibid., h. 58

[8] Ibid., h. 166

[9] Ibid., h. 186

[10] Munawir Sadzali, M.A., et al., Reaktualisasi Ajaran ISlam, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1988, cet. ke-1, h. 176

[11] M Dawam Rahardjo, Intelektual, Intelegensia, dan Perilaku Politik Bangsa: Risalah Cendikiawan Muslim, Bandung: Mizan, 1993, cet. ke-1, h. 175

[12] Mohammad Atho Mudzhar, Fatwa-Fatwa Majlis Ulama Indonesia, Jakarta: INIS, 1993, h. 24

[13] A. Syafi’i Ma’arif, Peta Bumi Intelektualisme Islam di Indonesia, Bandung: Mizan, 1993, cet. ke-3, h. 116

[14] H. M. Irsyad Djuwaeli, Membawa Mathla’ul Anwar ke Abad XXI, Jakarta: PB. Mathla’ul Anwar, 1996, h. 15-17

[15] A. Syafi'i Ma'arif, Loc. Cit.

[16] Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, Jakarta: LP3ES, 1990, cet. ke-5, h. 111-112

[17] G.F. Pijper, Beberapa Studi tentang Sejarah Islam di Indonesia 1900-1950., Jakarta: UI Press, cet. ke-2, h. 108-110

[18] Dr. Muhammad Imarah, Karakteristik Methode Islam, Jakarta: Media Da'wah, 1994, cet. ke-1, h. 154

[19] A. Syafi'i Ma'arif, op. cit., h. 58

[20] Mohammad Atho Mudzhar, op. cit., h. 19

[21] Fathurrahman Djamil, Perkembangan Pemikiran Hukum Islam Dewasa ini, Makalah, Seminar sehari ”Pemikiran Hukum Islam Prof. K. H. Ibrahim Hoesen”, Jakarta: Fakultas Syari'ah IAIN Jakarta, 4 Juni 1994, h. 4

[22] Munawir Sadzali, M.A., op. cit., h. 178

[23] M. Dawan Rahardja, op. cit., h. 288

[24] Ibid., h. 289

[25] A. Rifai Hasan dan Amrullah Achmad, (ed.), Perspektif Islam dalam Pembangunan Bangsa, Yogyakarta: PLP2M, 1987, cet. ke-1, h. 390

[26] Ibid., h. 391-392

[27] Munawir Sadzali, M.A., op. cit., h. 181-182

[28] M. Dawam Rahardja, op. cit., h. 290

[29] George Ritzer, Modern Sociological Theory, Mariland: The Mc.Graw Hill Companies, 1996, h. 459

[30] Mansour Fakih, Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi, Yogyakarta: INSIST Press, 2002, Edisi Revisi, cet. ke-1, h. 40

[31] George Ritzer, Op. Cit., h.3

[32] Ibid, h. 2-5

[33] Soerjono Soekanto dan Ratih Lestarini, Fungsionalisme dan Teori Konflik dalam Perkembangan Sosiologi, Jakarta: Sinar Grafika, tt, h. 22-23, juga lihat dalam karya Mansour Fakih, Op. Cit., h. 40-41

[34] George Ritzer, Op. Cit., h. 6 -7

[35] Ibid, h. 7

[36] Ibid., h. 12

[37] Mansour Fakih, Op. Cit., h. 54

[38] Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Rajawali, 1992, Cet, ke-XVI, h. 443-444

[39] I Bambang Sugiharto, Postmodernisme, Tantangan bagi Filsafat, Yogyakarta: Kanisius, 1996, cet. Ke-8, h. 58

[40] Seyyed Hossein Nasr, Islam dan Nestapa Manusia Modern, Bandung: Pustaka, 1983, Cet. Ke-I, h. 5-6

[41] I Bambang Sugiharto, Op. Cit., h. 29-30

[42] Akbar S. Ahmed dalam bukunya Posmodernisme Bahaya dan Harapan bagi Islam, Bandung: Mizan, 1993, cet. Ke., 1, h. 26-32

[43] I Bambang Sugiharto, Op. Cit., h. 31

[44] Ubed Abdilah S, Politik Identitas Etnis Pergulatan Tanda Tanpa Identitas, Magelang: Indonesiatera, 2002, cet. Ke-1, h. 7

[45] Ibid., h. 9

[46] Mansour Fakih, Op. Cit., h. 185

2 komentar:

  1. penjelasan yang sangat bagus. anda menjadikan filsafat mudah dimengerti meskipun kenyataannya filsafat bagi saya tetap sulit dipelajari.

    BalasHapus
  2. Halo,
    nama saya Siti Aminah dari Indonesia, tolong saya sarankan semua orang di sini harus sangat berhati-hati, karena ada begitu banyak pemberi pinjaman pinjaman palsu di internet, tetapi mereka masih yang asli di perusahaan pinjaman palsu. Saya telah ditipu oleh 4 pemberi pinjaman yang berbeda, saya kehilangan banyak uang karena saya sedang mencari pinjaman dari perusahaan mereka. Saya hampir mati dalam proses karena saya ditangkap oleh orang-orang karena hutang.

    Saya hampir menyerah sampai saya meminta saran dari seorang teman yang memperkenalkan saya kepada pemberi pinjaman asli dan perusahaan yang sangat andal yaitu Bunda Alicia Radu yang mendapatkan pinjaman saya dari 800 juta rupiah Indonesia dalam waktu kurang dari 24 jam Tanpa tekanan dan tekanan suku bunga rendah 2%. Saya sangat terkejut ketika memeriksa rekening bank saya dan menemukan jumlah pinjaman yang saya minta telah ditransfer ke rekening bank saya tanpa penundaan atau kekecewaan sehingga saya berjanji bahwa saya akan membagikan kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman dengan mudah tanpa tekanan dari Bunda Alicia Radu

    Saya ingin Anda mempercayai Bunda Alicia Radu dengan sepenuh hati karena ia sangat membantu dalam hidup saya dan kehidupan finansial saya. Anda harus menganggap diri Anda sangat beruntung memiliki kesempatan untuk membaca kesaksian ini hari ini. Jadi, jika Anda membutuhkan pinjaman, hubungi ibu Alicia Radu melalui email: (aliciaradu260@gmail.com)
    Anda juga dapat menghubungi saya melalui email saya: (sitiaminah6749@gmail.com) jika Anda memerlukan informasi tentang bagaimana saya mendapatkan pinjaman dari Ibu Alicia Radu, Anda sangat bebas untuk menghubungi saya dan saya akan dengan senang hati menjawab Anda karena Anda juga dapat membantu orang lain setelah Anda menerima pinjaman Anda.

    BalasHapus